UNTUK KONSULTASI SOLUSI SILAHKAN email ke : putusamodro@gmail.com

Pemakaman Korban Wedus Gembel

Tugas Mas Penewu Suraksohargo atau lebih dikenal Mbah Maridjan sebagai penjaga setia Gunung Merapi sudah berakhir. Lelaki sepuh itu memilih beristirahat panjang di kaki Merapi yang seluruh hidupnya diabdikan menjaga gunung tersebut.
 Kamis (28/10) pagi, Mbah Maridjan dimakamkan di pemakaman keluarga di Srumen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Lokasi pemakaman hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari kediaman Mbah Maridjan atau 7 kilometer dari puncak Merapi.
 “Simbah dimakamkan di makam keluarga karena mbahnya ada di sana. Dari makam Sidorejo hanya dibatasi Sungai Gendol,” tutur Agus salah satu cucu almarhum.
 Makam Mbah Maridjan dekat dengan kampungnya Kinahrejo - kampung asri yang berubah jadi padang tandus pasca diterjang awan dan abu Merapi. “Kira-kira hanya 5 kilometer dari kampungnya,” tambahnya.
 Sejumlah orang penting hadir dalam pemakaman abdi dalem Kraton Yogyakarta itu.
Sejumlah karangan bunga dari tokoh-tokoh politik terlihat seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta. Almarhum Mbah Maridjan juga mendapat kehormatan terakhir dengan disemayamkan di kampus Universitas Islam Indonesia. Pemakaman Mbah Maridjan juga diliput sejumlah media asing seperti CNN dan Reuters.
 Hingga kemarin, total korban tewas akibat semburan awan panas Merapi mencapai 31 orang. Sebagian besar korban tewas telah dikuburkan secara massal, di Sidorejo, Umbulharjo, Cangkringan.
Ponirah, istri Mbah Maridjan mengaku ikhlas dengan kepergian lelaki yang puluhan tahun mendampinginya.
 “Sampun dipendhet, kulo ikhlas..ikhlas..ikhlas (sudah diambil, saya ikhlas..ikhlas.. ikhlas”),” tutur wanita itu.
 Gelombang awan panas yang menyembur dari perut Merapi merenggut nyawa Mbah Maridjan pada Selasa (26/10) petang. Mantan penasihat Presiden Soekarno itu ditemukan tewas di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, bersama 15 korban lainnya.
 Tubuh kuncen Merapi itu baru ditemukan, Rabu (27/10) pagi, setelah tim evakuasi pascagelombang panas menyapu Dusun Kinahrejo. Mbah Maridjan ditemukan sudah tidak bernyawa tengah melaksanakan salat dalam posisi sujud.
 Awan Panas Beberapa jam setelah prosesi pemakaman Mbah Maridjan, Merapi kembali menunjukkan aktivitasnya. Sekitar pukul 16.16 WIB, Merapi kembali meluncurkan awan panas atau wedhus gembel dengan ketinggian 3,5 kilometer.
 Kepala Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, menjelaskan, awan panas Merapi kali ini mengarah ke selatan. Surono belum bisa memastikan adanya korban akibat gelombang awan panas yang kembali disemburkan merapi. “Saya masih belum menerima laporan,” cetusnya.
 Ribuan pengungsi diperintahkan untuk tetap bertahan di barak-barak pengungsian Umbuhardjo. Tim evakuasi terdiri dari relawan, tim SAR, dan TNI mengumpulkan ratusan ternak warga yang mati akibat semburan awan panas Gunung Merapi di sejumlah dusun sekitar lereng. Namun evakuasi ternak terhenti karena Merapi kembali mengeluarkan erupsi kecil. “Masih batuk-batuk (Gunung Merapi). Tim evakuasi di Kaliadem untuk evakuasi ternak berhenti dulu,” kata Wakil Bupati Sleman, Yuni Satya Rahayu.
 Hingga pukul 17.30 WIB, lahar Gunung Merapi sudah turun hingga 3 kilometer. “Ya laharnya sudah turun 3 Km. Kaliadem sudah kosong. Dusun yang lain tadinya juga sudah dikosongkan,” ujarnya.
 Diguncang Gempa  Menjelang pemakaman para korban awan panas Merapi, bumi Yogyakarta kembali bergetar. Sebuah gempa berkekuatan 4,0 skala Richter mengguncang Yogya sekitar pukul 08.39 WIB. Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kekuatan gempa tidak terlalu besar.
 Pusat gempa berada di 8.02 Lintang Selatan dan 110.49 Bujur Timur tepatnya 13 kilometer Barat Daya Wonosari-DIY dengan kedalaman 10 kilometer.
 Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla meminta warga mengikuti arahan pemerintah bila menghadapi bencana alam. Meninggalnya relawan PMI Bantul, Tutur Prijono menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat saat mengalami situasi bencana.
 Mantan Wapres itu menilai Tutur merupakan relawan hebat dan mempunyai naluri kemanusian tinggi. Sebenarnya, sebut Kalla, Tutur saat itu sudah berada di tempat yang aman, namun dia mendengar ada sekitar 15 warga masih bertahan di rumah di wilayah rawan terkena awan panas.
 “Ketika mendengar masih ada warga bertahan, dia kembali lagi ke atas. Tapi, gunung keburu memuntahkan awan panas. Tutur pun terperangkap dan dinyatakan meninggal dunia,” ungkap Kalla.
 Pengganti Hingga kini Kraton Yogyakarta belum memikirkan siapa pengganti Mbah Maridjan untuk menjadi juru kunci. Sebelumnya, Sultan Hameng Kubuwono mengaku masih memfokuskan penanganam para pengungsi dari bencana letusan Gunung Merapi.
 Asih, putra tertua Mbah Maridjan hanya tersenyum ketika ditanya apakah siap jika dirinya diminta Sultan menggantikan posisi ayahnya menjadi juru kunci.
“Saya tidak mau jawab itu. Semua bergantung keputusan Sultan,” ujarnya senyum.
 Dia mengaku bangga terhadap bapaknya yang sepanjang hidupnya diabdikan menjaga Merapi. “Saya bangga, bapak meninggal dalam menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi,” tutur Asih. (tribunnews/xna/wjn/fer)
sumber " http://www.sripoku.com/view/50757/wedhus_gembel_menyembur_35_km

Suasana Pemakaman Sang " JURU KUNCI " Merapi

Jenazah Mbah Maridjan dimakamkan di pemakaman keluarga Srumen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Tokoh-tokoh masyarakat hadir di pemakamannya, termasuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Pemakaman ini menutup tugas Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi secara paripurna, sebagai orang terakhir yang tinggal di Merapi ketika pada Selasa 26 Oktober 2010 petang, awan panas Merapi 'wedhus gembel' menerjang Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan. Dan jasa Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi bersujud di rumahnya yang tunggang langgang dihajar awan panas.

Meski terpisah, rumah peristirahatan terakhir 
pria yang diberi gelar Mas Penewu Suraksohargo oleh Sultan Hamengku Buwono IX ini berada tak jauh dari pemakaman massal korban Merapi di Sidorejo, Umbulharjo. Hanya dibatasi Sungai Gendol, kata Agus Winaryo, salah seorang kerabatnya.

Dan makam ini pun juga tak jauh dari Kinahrejo yang sekarang bak kampung hantu berdebu vulkanik. "Kira-kira hanya 5 kilometer dari kampungnya," kata Agus Winaryo.

sumber : http://nasional.vivanews.com/news/read/185576-foto-foto-pemakaman-mbah-maridjan

Gugurnya Sang Juru Kunci Sejati

Tahun 2006 hampir semua mata dunia terhentak kaget...seperti fenomena alam yang terjadi saat itu...Gunung paling aktif dan paling berbahaya didunia yaitu Gunung Merapi yg terletak  di Yogyakarta akan meletus....semua orang panik...tapi ada satu sosok yang akhirnya jadi legenda yaitu Mbah Maridjan tampak tenang dan santai...padahal beliau bertempat tinggal persis dilereng merapi yg mana lahar dan wedus gembel ( Awan Panas ) siap menerjang dan melumat habis tempat tinggalnya....
 
Ya itulah Sosok Mbah Maridjan, Lelaki tua dengan usia 83thn...Seorang  Fenomenal yang begitu patuh akan printah Rajanya...tepatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi penjaga Gunung  Merapi ..dan beliau mendapat Gelar Raden Ngabehi Suraksohargo..... Mbah Maridjan adalah pribadi yang kukuh sekaligus humoris. Beliau gampang bergaul dengan siapa saja dan dari kalangan apa saja. Beliau tidak membuat jarak... Padahal banyak yang mengkultuskan karena jabatannya sebagai juru kunci Gunung Merapi yang dimistiskan,  dan 'menselebritiskan' sang mbah ketika membintangi iklan produk dan beliau adalah sosok prajurit sejati yang menjunjung tinggi sabda pandhito Ratu untuk menjalankan tugasnya....mengapa saya sebut prajurit sejati...karena di bawah amukan alam merapi dibawah acaman lahar dan awan panas beliau tetap bergerming di tugas yang telah diprintahkan...karena Beliau percaya...Gunung Merapi belum saatnya meletus...walau BMG sudah memperkirakan Merapi akan meletus saat itu...ajuran pemerintah untuk beliau mengungsi tak digubrisnya...bahkan printah Sri Sultan Hamenkubuwono IX pun tidak mengoyahkannya...karena saat itu perintah Sri Sultan Hamenkubuwono IX sebagai Gubernur bukan sebagai Raja Beliau ( konfirmasi dari Sri Sultan Hamenkubuwono IX saat di interview di sebuah TV swasta )....karena bagi Mbah Maridjan...sabdo panditho ratu harus dijunjung tinngi sampai maut menjemputnya...dan Sri Sultan Hamenkubuwono IX pun membenarkan apa yg mbah maridjan lakukan...karena itu wujud dari seorang prajurit yg harus siap mati di medan peperangan, apapun yang terjadi dengan dirinya.....

Hari ini tanggal 27 Oktober 2010, Raden Ngabehi Suraksohargo atau lebih terkenal dengan Mbah Maridjan, sosok sederhana tapi bertekad baja...seorang tua renta tapi perkasa telah meninggal dunia, Beliau Gugur di tengah tugas yang di bebankan kepadanya...sebagai penjaga Gunung Merapi...yang kembali bergolak....selamat jalan Prajurit Sejati semoga...apa yg anda lakukan dapat menjadi inpirasi kita semua, sebagai contoh atau tulodho buat kita semua...seorang yang patuh akan printah walo ia tahu sewaktu-waktu maut mengincarnya....sekali lagi selamat jalan Mbah maridjan...Prajurit Sejati..  Mbah Maridjan adalah sosok yang pemberani, sederhana, dan setia melaksanakan tanggung jawab sampai akhir hayatnya, Semoga engkau memperoleh surga sesuai dengan kepercayaan yang engkau anut dan percaya......

Satu renungan buat kita...bisakah kita seperti beliau.....??????

Rahasia harta Gaib ( Harta Karun )

Harta karun gaib baik berupa emas, uang dll memang selalu menarik perhatian banyak orang. Bukan rahasia lagi, dikalangan petinggi negara pun kerap berburu harta yang tak tampak ini entah dengan tujuan memperkaya diri ataupun untuk dengan niatan membantu keterpurukan ekonomi negara. Nah, pertanyaan adalah benarkah harta karun gaib itu benar-benar tersedia di alam sana?
Jawabannya sebenarnya cukup mudah, yaitu memang harta karun tersebut benar adanya karena sejumlah orang telah banyak yang berhasil mengambilnya. Hanya saja mengambil harta tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan! 
Saking banyaknya orang yang tergiur harta ini terlebih ditengah kesulitan ekonomi  yang memuncak maka banyak pula bermunculan aksi penipuan orang-orang yang mengaku paranormal yang mampu menarik harta karun yang biasanya berupa uang atau emas. Padahal orang tsb bukanlah paranormal sejati dan hanya penipu ulung saja yang akhirnya akan memperburuk citra paranormal yang baik. Sindikat ini tidak hanya dilakukan oleh seorang pelaku saja melainkan beberapa orang yang akan berpura-pura sebagai pasien/klien yang mengaku berhasil menarik harta karun tsb. Biasanya dalam menipu, mereka membawa mobil bagus untuk ditunjukan kepada calon korbannya. Setelah korban terpengaruh maka ia pun akan menyiapkan banyak uang sebagai biaya penarikan harta karun tsb. Ujung-ujungnya adalah korban gagal mendapat harta karun dan para pelaku pun raib entah kemana.

Dari hasil perbincangan dengan beberapa praktisi supranatural, dapat diambil kesimpulan bahwa harta karun gaib itu sendiri dibagi 2 yaitu yang berasal dari golongan hitam dan putih.
1. Harta karun dari golongan hitam berasal dari mahluk halus sebangsa jin kafir, siluman ataupun iblis. Ritual ini biasa dinamakan pesugihan, biasanya mahluk yang ditemui berwujud menyeramkan atau ada unsur hewannya meski ada juga yang menampakan diri dgn tidak menyeramkan. Para pelaku harus memuja mereka dan sama sekali tidak boleh menyebut-nyebut kata-kata kalimah-kalimah suci. Jika dalam ritual tsb misalnya beristigfar ataupun mengucap subhanallah maka dipastikan akan gagal ritualnya. Bagi yang berhasil mendapat harta dari jalan hitam ini maka biasanya mereka harus 'memberi makan' kepada mahluk tersebut yang disebut tumbal berupa nyawa keluarga, teman atau musuh mereka. Harta karun dari golongan hitam relatif jauh lebih mudah didapat dibandingkan harta dari golongan putih karena orang berhati jahat pun bisa melakukannya.
2. Harta karun dari golongan putih berasal dari khodam malaikat ayat-ayat tertentu dalam kitab suci Al Quran. Untuk mendapatkan harta karun ini kesulitannya lumayan tinggi karena kita harus benar-benar memiliki ahlak yang baik dan lebih utama lagi yang sedang terdesak kebutuhan ekonomi. Bagi yang niatnya cuma ingin kaya raya jangan harap berhasil melakukan ritual ini. Niatnya harus baik! misalnya untuk membayar hutang-hutang yang menumpuk yang bisa mengakibatkan kehancuran rumah tangga, agar terhindar dari putus asa/bunuh diri akibat tekanan ekonomi, agar tidak menggadaikan iman ataupun untuk mendapat modal bisnis guna membangun lapangan kerja.
Tapi niat baik saja juga belum cukup. 2.5% dari hasil penarikan harta tersebut harus disumbangkan kepada yang yang berhak, selain itu penggunaan harta tsb tidak boleh untuk kemaksiatan. Harta karun dari golongan putih tidaklah memakai tumbal nyawa. Pengorbanan yang kita lakukan hanyalah berupa perangkat ritual spt minyak tertentu dan mewiridkan amalan tertentu (pengorbanan biaya, tenaga dan waktu).
Amalan yang dilakukan semuanya meminta kepada Allah dan tidak ada pemujaan kepada mahluk halus. Jika Allah mengijinkannya maka akan diutus khodam untuk menemui orang yang membutuhkan tsb. Disebutkan pula oleh banyak praktisi supranatural, dana ini berasal dari orang kikir yang tidak berzakat atau bersedekah misalnya mereka akan kehilangan uang sejumlah tertentu dengan berbagai cara yang kemudian akan berpindah ke alam gaib. Hal ini disebabkan karena 2.5% kekayaan kita sesungguhnya bukanlah hak kita melainkan harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Dalam hal penarikan dana gaib, besarnya uang ditentukan oleh kebutuhan orang tersebut misalnya 100jt, 500jt, 1M dll. Jadi tidak boleh rakus dalam meminta dana. Ketika bertemu khodam itulah kita mengutarakan berapa kebutuhan kita sesungguhnya. khodam yang ditemui biasanya berwujud orang yang nampak sangat berwibawa dan sorot mata yang tajam. Ketika bertemu sama sekali tidak boleh takut/gentar apalagi lari karena dipastikan ritualnya akan gagal. Ritual ini pun hanya berlaku sekali seumur hidup saja. Bagi yang sudah pernah berhasil mendapatkan dana maka tidak bisa lagi melakukan permohonan. 
Mungkin diantara kita banyak yang bertanya, jika memang dana gaib itu ada kenapa tidak paranormal itu saja yang mengambilnya sendiri? jawabannya adalah karena dana tersebut hanya untuk mereka yang memenuhi persyaratan atau berhak saja. Jadi sesakti apapun paranormal tsb, ia tetap tidak akan berhasil jika memang Allah menilai paranormal tsb tidak berhak mendapatkannya. Jadi biasanya paranormal hanya sekedar perantara untuk memberikan jalan/ritual/tata cara memohon rejeki dana gaib langsung ke Allah.
Dari penjelasan ini maka semoga kita dapat membedakan mana yang haq dan batil. Sebisa mungkin hendaknya kita berusaha mencari rejeki dengan cara bekerja atau berbisnis, namun jika segala usaha kita menemui jalan buntu atau bahkan kehancuran maka tiada guna berputus asa apalagi bunuh diri atau menggadaikan iman karena sesungguhnya harapan masih selalu akan ada dengan jalan memohon kepada-Nya.

Kisah Nyata Uang Balik

Sebut saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu. Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:

Malam itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan, barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin.
Kebetulan, siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan hampir seharian.
Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah.
Ternyata aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Namun, cintanya yang tulus ini membuatku merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak saja aku tidak bisa melakukannya.
Sungguh, bila ingat semua itu, tak terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna. Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya pas-pasan.
“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.
“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.
“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.
“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.
Kartika, atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa, setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa sekali bila aku menyatikinya.
Suatu malam, aku duduk menyendiri di bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama. Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu.
Entah pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.
Ketika menyadari kesendirianku yang sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa? Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!”
Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.
Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.
“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang.
“Kembalilah duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga! Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini?
“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.
Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.
“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.
Seperti terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan, demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau melihat wanita itu sebelumnya.
Kejadian selanjutnya sungguh terjadi di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak saling bersua.
Apa yang terjadi detik selanjutnya?
Aku terkulai lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi, wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!” Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam di ambang subuh.
Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….
Pagi hari setelah kejadian ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila teringat kejadian semalam.
“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu.
Meski pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000
Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.
Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini.
Setelah menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku?
Lambat laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?
Pada awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi sekaligus juga uang kembaliannya.
Untuk menghindari kecurigaan isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.
Berkat Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga rumah mewah beserta isinya.
Tahukah, ada satu hal yang harus kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku bersumber.
Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah semua ini menjadi rahasia hidupku.
Terlepas dari semua itu, setiap toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako. Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan.
Aku juga selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum senang dan hidup mewah.
Di luar sepengetahuanku, rupanya secara diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang lainnya.
Apa yang kemudian terjadi?
Entah bagaimana, setiap aku membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar shock dengan kenyataan ini.
Sementara itu, tanpa kuduga isteriku juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku, tapi aku menangkisnya dengan kera.
“Aku tidak sudi Mas mencari harta dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku, suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu kepadaku.
Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan uangku di kuburan.
Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya. Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri.
Dengan kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku. Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!” Pintaku menghiba.
Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir. Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya.
“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik.
Nenek itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.
Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan.
“Kartika toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja, puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk ke dalam sumur.
Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku jadi gelap dan pekat….
Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum, walau kulihat matanya bengkak dan merah.
“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.
Kartika tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).
Nah, Kyai Abdullah inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut. Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku dinyatakan patah oleh dokter.
Kini, aku telah sembuh dan sehat wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri salehah seperti Kartika.
Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….

Kisah Tumbal Pesugihan

Siapa yang akan dijadikan tumbal….
Eko tampak pucat menghadapi hari yang menegangkan. Ia selalu tertekan jika saat itu tiba. Resah karena ia mengetahui keberadaan keluarganya yang makan minum dari hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan mempersembahkan nyawa demi setumpuk harta. Ayahnya telah mengambil jalan sesat, membuat batinnya selalu tersiksa. Kini hari permintaan tumbal itu telah dekat, itulah yang membuat Fandi resah.
Keresahan Fandi memang sangat beralasan. Sudah banyak korban manusia yang telah dijadikan tumbal oleh ayahnya. Termasuk kedua adik perempuannya yang masih berusia belasan tahun. Fandi pun amat takut dirinya akan dijadikan tumbal oleh ayahnya. Sementara di rumah itu, kini hanya tinggal ibunya dan dia yang tersisa. Mereka hanya menunggu waktu untuk jadi tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tak mungkin lari dari kenyataan itu.


Ditengah lamunan Fandi, wajah Susi dan Yani adiknya melintas dalam ingatan. Wajah yang selalu menggoda dirinya bila sedang bercanda. Benar-benar menyiksa, bayangan itu tak mau pergi dari pelupuk matanya. Mereka terus membayangi sepanjang hari, seperti mengajak Fandi untuk ikut bersama mereka. Atau menyuruh Fandi untuk menghentikan semua penyengsaraan ini.
Masih terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana kedua adiknya itu meninggal. Tapi hanya tanda merah yang berbentuk seperti bola di kedua telapak tangan serta bercak-bercak merah di kulit tubuh mereka sebagai bukti kematian Susi dan Yani. Namun kenapa kedua orang tuanya tidak merasa heran atas kepergian kedua adiknya yang hanya berselang beberapa hari itu. Tuhan, apa sebenarnya yang sedang menimpa keluarga kami.
Lamunan Fandi pagi itu terhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi langsung menoleh dan ternyata langkah kaki itu milik ibunya. Dengan membawa secangkir teh, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan, Fitri, ibunya, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Fandi.
“Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah?” Tegur Fitri. “Atau kau sengaja berangkat sama sopir? Ayahmu baru saja pergi?” Sambungnya lagi.
Tegur sapa Fitri yang halus dan lembut, membuat Fandi tergagap. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Fandi tak menjawab semua pertanyaan ibunya, ia malah balik bertanya.
“Bu, apakah perkebunan kita tidak mengalami perubahan? Kita sudah lama tidak menjenguknya. Bila ibu mau, Fandi ingin mengajak ibu kesana. Sekaligus ada sesuatu hal yang ingin Fandi tanyakan,” kata Fandi mengajak ibunya.
Fandi memberanikan diri mengajak ibunya ke perkebunan dengan harapan dapat mengetahui apakah ibunya benar-benar belum mengetahui kalau ayahnya seorang pemuja setan. Tanpa diduga, ibunya gembira sekali dengan ajakan Fandi.
Fitri sebenarnya sedikit was-was karena Fandi tidak biasanya mengajak ke perkebunan. Fandi lebih sering mengajak ibunya belanja ke toko untuk mencari sesuatu. Tapi akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk ke dalam dan mengeluarkan mobil dari garasi.
Tak lama kemudian berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia membayangkan wajah ibunya nanti bila ia menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Reaksi seperti apa yang akan ditampakkan oleh ibunya.
Tiba di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sambil mencari tempat untuk bernaung. Akhirnya mereka singgah di sebuah gubuk reyot untuk mengobrol. Perlahan-lahan Fandi memegang jemari ibunya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Sudah berapa lama perkebunan ini dimiliki oleh ayah Bu?” Tanya Fandi. “Pada saat ayah membeli tanah ini, Fandi tak mengetahuinya. Padahal gaji ayah ‘kan cuma pas-pasan. Tidak mungkin ayah memiliki uang sebanyak itu. Apakah mungkin gaji seorang pegawai Asuransi bisa membeli perkebunan ini. Belum lagi ayah telah membeli kendaraan dan semua barang istimewa yang saat ini kita miliki?” Tanya Fandi.
Fitri terkejut mendengar pertanyaan yang diucapkan Fandi. Ia hanya menatap kedua mata Fandi dengan tajam. Tak lama kemudian ia berdesah, kekhawatirannya selama ini terbukti. Pertanyaan inilah yang selalu membuat dirinya resah sepanjang malam.
“Sebenarnya ibu telah lama menyimpan rahasia ini, dan baru kali ini ibu membukanya. Bagus sekali kamu mengajak ibu kesini. Kesempatan seperti inilah yang ibu tunggu-tunggu. Sekarang kamu sudah dewasa dan mampu berpikir, mana yang baik mana yang buruk. Kamu dapat membedakannya,” jawab Fitri yang merasa senang anaknya telah mengetahuinya.
Fitri bicara sambil menahan perasaannya yang tertekan. Betapa dirinya selama ini menyimpan rahasia suaminya di dalam batin. Tiga tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menyimpan sebuah rahasia besar yang telah dilalui oleh keluarganya.
Fandi semakin tegang melihat wajah ibunya yang menatap dengan tatapan kosong. Akhirnya ia menepuk bahu ibunya sambil berdehem.
“Bu….! Ibu kenapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan Fandi bu. Fandi telah lancang, seharusnya Fandi tak boleh begitu.”
“Tidak Fandi……!” Celetuk ibunya. “Ibu hanya ragu untuk mengatakan sesuatu padamu,” lanjutnya.
Dengan cepat Fandi menyela ucapan ibunya sambil mencium tangannya. “Cepat bu, katakanlah! Fandi sudah lama sekali menunggu jawaban ini. Rasanya Fandi sudah tak sabar mendengarnya. Masalah ayahkan bu? Sekarang begini saja, dari pada ibu sulit untuk membukanya, biarlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.
Mudah-mudahan ibu dapat menerima apa yang akan Fandi katakan. Sebab Fandi sudah mengetahui apa yang telah menimpa keluarga kita. Bukankah ayah itu seorang pemuja bu? Susi dan Yani telah dijadikan tumbal oleh ayah. Kini giliran Fandi dan ibu yang saat ini tengah diincar ayah.
Ketakutan inilah yang membuat ibu sering sakit. Sebenarnya Fandipun seperti ibu. Tetapi apakah kita akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepatnya minta pertolongan. Biarlah kita pergi diam.-diam selagi masih ada kesempatan dan belum terlambat,” jelas Fandi panjang lebar.
Betapa terkejutnya Fitri mendengar ungkapan Fandi. Ia tidak menyangka anak sulungnya telah mengetahui ayahnya seorang pemuja. Fitri segera memeluk Fandi sampai bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semua jeritan batin yang selama ini menghimpit dadanya.
Sementara itu Fandi terlihat sangat lega karena ibunya sudah menerima semua kalimat yang diucapkannya. Keberadaan ayahnya sebagai seorang pemuja setan, telah terungkap. Dengan bersimbah air mata, Fitri melepaskan pelukannya. Perlahan ia mengusap kedua matanya lalu kembali menatap wajah Fandi dengan sayu.
“Semua yang kau katakan adalah benar Fandi. Masalah inilah yang selalu mengganggu pikiran ibu. Saranmu akan ibu turuti, dari pada kau dan ibu dijadikan korban oleh ayahmu!” Jawab Fitri.
“Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih awal dari biasanya,” ajak Fitri pada anaknya.
Fandi mengangguk sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sementara Fitri mengikutinya dari belakang. Tanpa banyak bicara, Fandi langsung menstater mobil dan segera meluncur pulang.
Sampai di rumah, Fitri menerobos masuk ke dalam rumah dan langsung berganti pakaian. Setelah itu ia segera beristirahat untuk meninggalkan jejak bahwa dirinya pulang dari bepergian. Sedangkan Fandi duduk di kursi tamu sambil membaca koran. Dalam hatinya berkecamuk rencana yang telah disepakati dengan ibunya.
Tak lama kemudian Sasmito ayah Fandi tiba. Mendengar suara suaminya, Fitri pura-pura tidur. Sementara itu Fandi merasa bersyukur karena ayahnya tidak mengetahui bahwa ibu dan dia pulang dari perkebunan.
Malam nampak cerah, purnama bersinar terang. Tapi Fandi dicekam ketakutan menyaksikan purnama itu. Hatinya begitu gelisah. Siapakah yang akan dijadikan tumbal oleh ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi kemeja yang ia kenakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mengkhawatirkan keadaan ibunya. Perasaannya gelisah seperti akan terjadi sesuatu pada ibunya. Fandi bergegas mendatangi kamar tidur ibunya dan langsung mengetuk pintu kamar.
“Bu, bu……! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi mau bicara. Apakah ibu tidak sholat Isya’ dulu?”
Lama Fandi menunggu, tapi tak satupun pertanyaan dijawab. Akhirnya ia mengintip melalui lubang kunci. Tiba-tiba Fandi berteriak nyaring memanggil ayahnya.
“Ayah…..! Ayah…..! Tolong ibu ayah!” Teriak Fandi.
Sasmito menghampiri Fandi sambil bertanya, “Ada apa Fandi? Kenapa dengan ibumu?”
“Lihat ayah! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Saat Fandi memanggil-manggil ibu, ia tak menyahut. Sepertinya ibu sedang sakit ayah.”
Sasmito nampak panik. Ia segera mendobrak pintu tersebut bersama Fandi lalu berlari masuk ke dalam kamar. Fandi bersama ayahnya langsung menghampiri ranjang melihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Dan, semua teriakan tak satupun didengar Fitri.
“Fitri, bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri!” Sasmito dan Fandi menangis sambil menjerit-jerit.
“Fitri jangan tinggalkan aku Fitri. Aku tidak sanggup hidup tanpa kau disisiku!” Sasmito terus berteriak sambil memeluk tubuh istrinya.
“Fandi…..! Ibumu sudah tiada. Ibu sudah menghadap Tuhan. Ini memang salah ayah Fandi. Maafkan ayah.”
Sasmito berbicara sambil meratap, ratapan yang sangat memilukan. Ia menangis bagai bayi yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergiaan Fitri yang telah dijadikan tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar sangat mengharukan. Tapi Fandi merasa muak dengan sikap ayahnya.
Mendadak Fandi marah, ia sudah sekian lama memendam kebencian terhadap ayahnya. Kebencian itu muncul akibat perlakukan ayahnya yang tega menjadikan kedua adiknya sebagai tumbal. Apalagi kini ibunya tewas menyusul kedua adiknya. Ibunya telah menjadi korban atas pemujaan ayahnya.
“Ayah benar-benar tega berbuat seperti ini. Kenapa ayah lakukan pada kami? Kami butuh kebahagiaan. Kami tidak butuh harta! Beginilah jika ayah tidak percaya dengan adanya Tuhan!”
Makian Fandi yang terdengar mengutuk, terlalu pedas bagi Sasmito. Namun Sasmito tidak sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito menyadari semua kesalahannya. Akhirnya Fandi keluar dari kamar dan segara memanggil para tetangga untuk memberitahukan kematian ibunya. Usai itu Fandi kembali ke kamar menemui jenazah ibunya.
Tubuh Fitri terbujur kaku, tergolek di atas ranjang didampingi Sasmito. Wajahnya tampak pucat dan keriput di wajahnya semakin nampak jelas. Beberapa orang tetangganya berdatangan untuk melayat. Sasmito terlihat shock, ia hanya termenung saat melihat tubuh istrinya dibopong keluar untuk dimandikan. Sementara itu Fandi mengiringnya dari belakang sambil melihat sebuah tanda yang sudah ia kenal. Tanda yang menyebabkan kematian ibunya.
Esok harinya, setelah Fitri dimandikan jasadnya segera dimakamkan. Fandi, Sasmito dan seluruh warga menghantarkan jasad Fitri hingga ke pemakaman. Derai air mata Fandi dan Sasmito mengiringi kepergian Fitri hingga masuk ke liang kubur.
Selesai pemakaman, Fandi nampak shock dan frustasi. Semangat hidupnya kini sudah tiada lagi. Satu demi satu orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Untuk apalagi dirinya bertahan hidup. Mungkin hanya untuk menunggu gilirannya dijadikan tumbal.
Kegundahan hati Fandi yang terlihat nyata dapat dipahami Sasmito. Perlahan-lahan Sasmito mendekati Fandi dan memeluknya sambil berkata, “Kau akan kemana Fandi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ayah? Ayah mengakui kesalahan ayah membuat ibu dan kedua adikmu pergi. Tapi tolong dengar kata-kata ayah. Pada waktu itu ayah tergoda oleh harta. Tapi semua itu ayah lakukan demi kehormatan keluarga kita yang selalu dihina karena hidup dalam kemiskinan. Ayah sungguh khilaf waktu itu dan tidak berpikir panjang. Sekarang tolong bantu ayah untuk menyelamatkan ayah. Ayah tak ingin kaupun dijadikan tumbal bagi Raja Siluman itu. Kau harus selamat, biarlah ayah sendiri yang menanggung akibatnya.”
Hati Fandi terketuk juga oleh kata-kata ayahnya. Walau ayahnya telah salah mengambil jalan, ia tetap ayah kandungnya. Fandipun segera keluar dari rumah tanpa mau disertai ayahnya. Fandi akan berusaha mencari solusi yang bisa melindungi dirinya dan menyelamatkan nyawanya. Dengan berat hati dan perasaan tak kauran Fandi melangkahkan kakinya menembus udara bebas sambil terus berharap semoga nyawanya dapat terbebas dari cengkeraman Ratu Pemilik Harta.

Gagal Dalam bekerja Sukses dengan pesugihan

Namaku sebut saja Thamrin. Rumah tangga yang kubina selama hampir 12 tahun dengan Nurtiyah, istriku, selama ini semuanya selalu berjalan dengan harmonis dan penuh ketentraman. Dari pernikahan itu, kami sudah dikaruniai dua orang anak. Yang bungsu sudah kelas enam SD, sedang yang sulung hampir tamat SMP.
Walau gajiku sebagai pegawai negeri sipil (PNS) golongan rendah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi isteriku tidak pernah mengeluh. Dia juga tidak pernah menuntut hal yang macam-macam. Malah, dengan tekunnya Nurtiyah ikut membantu perekonomian keluarga. Wanita yang selalu setia dan mengerti diriku ini berjualan makanan kecil-kecilan, yang kemudian dititipkan di warung-warung langganan. Untungnya memang cukup lumayan untuk sekedar menambah ongkos dan uang jajan anak-anak.

Jika kehidupan ini diibaratkan bagai sebuah pendulum, maka pendulum nasibku memang enggan untuk berubah. Ketika aku tengah mencoba untuk tawakal menjalani hari-hariku yang berat, tanpa diduga sedikitpun cobaan itu tiba-tiba datang menerpaku. Ya, aku harus menghadapi sebuah tuduhan keji yang dilontarkan oleh atasan baruku di kantor. Manusia arogan itu tanpa tenggang rasa sedikitpun melabeli diriku telah menjadi seorang koruptor.
“Uang itu tidak akan merubah hidupmu jadi kaya raya, Pak Thamrin. Sebaiknya kau kembalikan saja sebelum seluruh pegawai di kantor ini mengetahui kasusnya.”
Sungguh menyakitkan kata-kata itu. Harga diriku benar-benar sangat direndahkan olehnya.
“Bagaimana saya harus mengakuinya, Pak? Padahal, saya tidak pernah tahu dengan uang itu,” jawabku dengan getir.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Tetapi yang penting kau ingat, kasus ini akan menjadi catatan tersendiri buatmu. Saya bisa saja melaporkan hal ini kepada atasan langsung, sehingga karirmu akan sulit untuk berkembang,” ancamnya sambil segera menyuruhku ke luar dari ruangannya.
Sepertinya aku memang tak diberikan kesempatan untuk membela diri. Tuduhan itu rupanya harus kutelan mentah-mentah, sebab sebagai pegawai Tata Usaha yang ditugaskan mencatat keluar masuknya uang sebelum dilaporkan ke Bendahara, aku memang harus bertanggungjawab penuh atas kejadian yang dituduhkan itu. Tetapi Demi Allah, aku tidak pernah menggelapkan uang kantor. Aku bahkan tidak tahu dengan jumlah uang yang dituduhkan. Aku menduga ada pihak-pihak lain yang bermain di balik persoalan ini.
Sulit digambarkan betapa hancurnya perasaanku menerima tuduhan itu. Rasa sakit hati yang sedemikian perih mempengaruhi jiwaku saat itu. Mendadak saja muncul keinginan kuat dalam hatiku untuk cepat menjadi orang kaya. Dengan kekayaan yang kumiliki, tentunya aku tidak akan pernah direndahkan oleh orang lain. Dengan kekayaan itu pula aku bahkan bisa membeli jabatan yang kuinginkan, seperti yang selama ini dipraktekkan oleh orang-orang berkantong tebal.
Aku juga sudah bosan dengan hidup yang serba pas-pasan, dan malah cenderung kekurangan. Aku tak tega melihat isteriku terus membanting tulang setiap pagi mempersiapkan kue-kue dagangannya, guna meringankan beban perekonomian keluarga.
“Seandainya aku ditakdirkan menjadi orang kaya, pasti kehidupan isteri dan anak-anakku tidak akan pernah kekurangan lagi. Apa saja yang mereka butuhkan, pasti bisa kupenuhi.” Begitulah lamunan yang sering muncul dalam benakku, terutama ketika aku berada dalam kesendirian.
Barangkali karena kebanyakan melamun, tanpa kusadari aku mulai sering mendengar bisikan-bisikan gaib, yang aku sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Suara gaib itu mengatakan seperti ini, “Thamrin, kalau kau ingin menjadi orang kaya, kau harus berpuasa dan berendam di sungai selama empat puluh malam berturut-turut. Kau juga harus tinggal di surau kecil dekat sungai itu. Nanti aku akan memberimu zikir-zikir sakti yang bisa mendatangkan kekayaan. Percayalah, secepatnya kau akan menjadi kaya raya, Thamrin!”
Bisikan-bisikan gaib itu sangat sering kudengar, sehingga lambat laun semakin merasuki jiwaku. Mungkin karena itulah akhirnya aku jadi malas bekerja. Setiap pagi aku memang berangkat dari rumah dan berpamitan kepada isteriku. Tapi bukannya berangkat ke kantor, melainkan menyendiri di surau kecil dekat sungai itu. Ya, surau ini persis sekali seperti yang digambarkan lewat bisikan gaib yang selalu kudengar.
Sungguh sulit kupahami, aku merasa betah sekali duduk berlama-lama di dalam surau dekat sungai itu. Ketika tiba waktu sholat Dzuhur, Ashar atau Maghrib, memang ada beberapa orang yang datang ke surau itu untuk sholat berjamaah. Kadangkala, aku juga ikut menjadi makmum, meski sholatku tidak pernah khusyuk karena pikiranku yang melantur jauh entah kemana.
Anehnya, selepas Maghrib dan hari menjelang malam, aku merasa enggan untuk meninggalkan surau. Bahkan setelah beberapa hari menyendiri di sana, suatu malam akhirnya aku memutuskan tidur di surau. Sejak saat itu, aku lebih sering berada di surau, daripada di rumah, maupun di tempat kerja. Setiap hari, kerjaku cuma menyendiri. Begitu larut dan asyiknya, sehingga aku tidak pernah lagi memikirkan perasaan lapar dan haus. Satu-satunya yang terus menari-nari dalam benakku, adalah keinginan untuk menjadi orang kaya secepatnya.
“Kenapa kau tidak pulang, Pa? Kamu tidur kemana?” Tanya isteriku saat malam pertama aku memutuskan tidur di surau.
“Aku tidur di surau kecil dekat sungai itu, Ma! Aku ingin menenangkan pikiranku,” jawabku.
Nurtiyah hanya menarik nafas berat. Dia memang tahu persis kalau aku tengah menghadapi persoalan yang sangat berat di kantor. Dia sendiri merasa tidak terima kalau suaminya dituduh sebagai koruptor.
Memang, sampai sejauh ini Nurtiyah, istriku tidak pernah tahu, kalau aku sudah sering bolos kerja. Belakangan, karena sering bolos kerja, aku mendapat teguran keras dari atasanku. Bahkan aku diancam akan mendapatkan sangsi keras seandainya bolos lagi.
Tetapi, teguran atasanku itu tak pernah kuhiraukan. Mungkin seandainya aku pegawai swasta, sudah pasti aku dipecat. Untunglah aku seorang PNS, yang membutuhkan prosedur panjang untuk urusan pemecatan. Aku tahu persis hal yang satu ini.
Celakanya, setelah aku sering tak masuk kantor, akhirnya aku dimutasikan ke tempat yang betul-betul tidak kuharapkan sebelumnya. Bidang pekerjaanku yang baru ini ibaratnya sebagai ‘tempat buangan,’ yang sama sekali tak ada obyekannya. Otomatis, sejak itu gairah kerjaku kian menurun drastis. Akhirnya, aku memutuskan tak masuk kerja lagi, meski aku tak pernah menulis surat pengunduran diri atau meminta pensiun dini. Aku hanya bersikap masa bodoh.
Setelah pasif dari pekerjaan, yang aku lakukan tiap hari hanya menyendiri di surau kecil itu. Hingga lambat laun, isteriku akhirnya tahu juga kalau aku sering berada di surau itu. Maka, mulailah dia sibuk menasihati dan mengingatkan tanggung jawabku sebagai kepala keluarga. Namun, bukannya menyadari kekeliruan, aku malah semakin cuek bebek saja. Peringatan dan nasihat istriku tak pernah kugubris sama sekali. Kalau tidak dijemput oleh istri dan anak-anakku, aku tidak pulang ke rumah. Aku lebih senang tinggal di surau sekalipun tidak makan dan minum.
Melihat tingkahku yang sering menyendiri, bahkan hampir tiap malam tidur di surau, banyak orang yang akhirnya menilaiku sudah seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat. Tapi sekali lagi, aku tidak mempedulikan mereka.
Semula, isteriku masih sering memperhatikan diriku. Entah dari mana dia mendapatkan uang untuk masak, setiap hari dia masih mengirimi makanan ke surau. Tetapi, selang beberapa waktu kemudian, tak ada lagi yang mengirimiku makanan.
Sementara pula, aku juga tidak tahu, apakah aku sudah dibebastugaskan dari pekerjaan atau belum. Yang jelas, aku sudah tak peduli lagi tentang semuanya ini.
Sekitar tiga bulan aku menjadi penghuni tetap surau itu, tiba-tiba kabar yang mengejutkan itu datang. Istriku berniat akan menikah lagi dengan seorang duda kaya. Aku tersenyum pahit seorang diri. Sungguh tak mengherankan jika ada lelaki lain yang tertarik pada Nurtiyah. Selain masih muda, isteriku juga berwajah cukup cantik. Bentuk tubuhnya pun masih sekal, padat dan berisi.
Sekejap, rasa cemburu itu datang. Tetapi aku tidak bisa menyalahkan Nurtiyah, kalau akhirnya dia memilih laki-laki itu. Meski sudah agak berumur, duda kaya itu tentunya sanggup menafkahi istri dan kedua anak-anakku. Hal ini jauh dibandingkan diriku yang selama ini hanya mampu memberikan janji dan mimpi-mimpi manis.
“Percayalah, aku akan segera kaya. Makhluk gaib itu akan memberikan ilmu saktinya kepadaku!” Kataku suatu hari kepada Nurtiyah.
“Iya, tapi kapan hal itu terjadi? Apakah harus menunggu isteri dan anak-anakmu mati kelaparan?” Sergahnya.
Ingat pada kejadian itu, tanpa penyesalan sedikit pun aku memutuskan untuk menceraikan isteriku. Anak-anakku juga tidak merasa keberatan atas keputusan ini.
Perpisahan dengan isteri justeru kurasakan semakin memantapkan niatku semula, yaitu bertapa di surau itu. Yang terjadi kemudian, aku makan dan minum hanya seketemunya saja. Kalau ada orang yang berbelas kasihan kepadaku dan memberikan sepiring nasi, ya kumakan. Kalau tidak ada, aku berpuasa. Dan yang paling penting, orang-orang kampung telah menganggapku tidak waras lagi karena aku berdiam di surau itu.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, setiap malam yang aku kerjakan hanya berzikir, yang kuulang sampai beribu-ribu kali. Lafadz zikir ini sendiri kudapatkan lewat bisikan gaib. Ya, sesuai dengan janjinya, makhluk yang hanya kudengar suaranya itu memang memberikan bacaan zikir yang aneh itu kepadaku. Katanya, dengan zikir ini kekayaan akan menghampiriku. Sejak itu pula, setiap malam aku tekun mengamalkan zikir itu. Rasanya mulutku sampai berbusa-busa, dan punggungku terasa pegal sekali.
Telah berpuluh-puluh malam, aku berzikir tanpa mengenal lelah. Namun, aku belum juga mendapatkan petunjuk apa-apa tentang harta yang dijanjikan. Hingga tiba suatu malam, ketika aku sedang asyik berzikir, samar-samar aku mendengar suara berisik dari luar surau. Rupanya hujan turun dengan deras di luar sana. Suara petir menggelegar bersahut-sahutan, kilat menyambar-nyambar mengerikan. Namun, aku tetap duduk bersila, sambil melafadzkan dzikir gaib itu.
Ketika aku tengah larut dalam ritual itu, entah dari mana datangnya, seekor ular sanca sebesar paha orang dewasa, tiba-tiba muncul dari pintu depan surau. Ular besar itu merayap ke arahku. Mulutnya mendesis-desis, mengeluarkan bau anyir.
Antara rasa takut akan dipatuk dan rasa tak percaya pada apa yang kulihat, mulutku terus saja komat-kamit melantunkan zikir. Anehnya, semakin keras zikir kukumandangkan, maka semakin dekat pula ular sanca itu bergerak ke arahku.
Sadar bahwa ular itu akan betul-betul mematukku, aku buru-buru berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk menghindar. Secepat kilat, aku meloncat ke luar, mengambil kentongan bedug. Celakanya, ular itu pun meliuk dengan cepat, kembali memburu ke arahku. Ketika kepala ular itu sudah hampir sampai di kakiku, dengan sigap kuayunkan kentongan bambu itu di kepalanya. Dengan geram berkali-kali hal ini kulakukan. Terdengar desisan panjang, seperti suara orang yang mengaduh kesakitan. Bagai orang yang sedang kesurupan setan, saat itu aku terus memukul kepala si ular. Aku baru menghentikan pukulan-pukulanku, setelah melihat ular itu benar-benar mati dan kepalanya tidak berbentuk lagi.
Sambil berusaha mengendalikan tarikan nafasku, kutarik bangkai ular itu, lalu kulemparkan ke sungai. Aku nyaris muntah ketika bau darah menyengat hidungku. Anyir bercampur bau busuk.
Setelah membersihkan darah ular yang menggenangi lantai surau, aku duduk kelelahan, sambil tak habis-habisnya memikirkan kejadian yang bagiku sangat aneh itu. Ya, kenapa tiba-tiba ular itu menyerangku? Apakah ular itu binatang sungguhan, atau mungkin makhluk jadi-jadian?
Setelah lelah berpikir, aku memutuskan untuk tidak berzikir lagi. Aku merasa tak ada gunanya meneruskan ritualku.
Siang hari setelah malamnya kualami kejadian yang sangat menegangkan itu, aku melihat kerumunan sejumlah orang di hulu sungai. Persisnya di tempat yang biasa dipakai oleh para ibu rumah tangga mencuci pakaian dan mandi. Menurut keterangan salah seorang warga, mereka baru saja menangkap seekor ular sanca besar di tempat itu. Ular sanca itu hampir menelan korbannya, seorang anak kecil yang sedang ikut mencuci bersama ibunya. Untung saja, ada seorang pawang ular yang kebetulan lewat di tempat itu. Dan, nyawa anak itu pun dapat terselamatkan.
“Kalau air sungai sedang meluap seperti ini, ada saja ular yang tertangkap oleh kami. Di hulu sungai ini memang ada sarang sanca. Tetapi entah di mana tepatnya, saya sendiri juga belum tahu,” kata pawang yang berhasil menangkap ular sanca itu.
Maka, secara beramai-ramai, ular sanca sepanjang hampir dua meter itu digotong ke rumah pawang. Kulihat ular itu hampir sama besarnya dengan ular sanca yang kubunuh tadi malam. Aneh, apakah ular itu sama dengan ular yang menyatroniku tadi malam?
Malam berikutnya, sengaja aku tak tidur, karena aku ingin mendapatkan petunjuk seperti yang selama ini kuharapkan. Sampai sejauh ini, aku tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa caraku yang kulakukan jelas telah salah kaprah. Apakah mungkin orang bisa kaya mendadak hanya dengan berzikir, berpuasa, dan melek sepanjang malam, tanpa bekerja apapun? Mana mungkin aku akan mendapatkan uang?
Sebelum kesadaran itu datang sepenuhnya, bisikan-bisikan gaib itu pun kian gencar kudengar, dan sepertinya menggema begitu saja dalam gendang telingaku. Bahkan belakangan, bisikan gaib itu terdengar seperti suara seorang wanita yang sangat lembut menggoda.
“Thamrin, kalau kau ingin cepat menjadi orang kaya, kau harus berendam setiap malam di hulu sungai itu. Lakukan selama empat puluh malam berturut-turut. Dan, ingat! Selama berendam, kau harus telanjang bulat dan tidak boleh diketahui orang lain. Selain itu juga kau harus menjalankan puasa selama empat puluh hari penuh. Sebelum waktu adzan Subuh tiba, kau sudah harus menghentikan ritualmu itu!”
Suara itu memang terdengar pelan, namun cukup jelas di telingaku. Masalahnya, apakah aku akan sanggup semalaman berendam di sungai? Hiii…rasanya aku tak akan berani untuk melakukannya. Aku takut penyakit rematikku akan kambuh. Lebih-lebih, aku takut digigit ular sanca, yang menurut pawang, sarangnya berada di hulu sungai.
Ya, hatiku memang menolak untuk menuruti bisikan gaib itu. Tapi anehnya, keesokkan malamnya, bisikan gaib itu kembali datang. Bahkan sekali ini terdengar lebih keras lagi, juga diiringi suara tawa cekikikan, yang nadanya mencemoohkan diriku.
“Ha…ha…ha…! Ternyata kau laki-laki pengecut, Thamrin! Kau ingin jadi kaya raya, tapi kau tidak mau bersusah payah!”
Setengah percaya dan tidak aku saat mendengar suara gaib itu. Aku juga berusaha untuk tidak menggubrisnya. Tapi entah bagaimana, sementara itu pula tekadku ingin menjadi orang kaya semakin berkobar-kobar. Terlebih ketika aku teringat perlakuan banyak orang yang semakin mengucilkan diriku. Bahkan, anak-anak kecil juga mulai sering menggangguku, dengan mengejek dan melempariku.
Ingat akan perlakuan yang tidak adil ini, hatiku semakin berontak. “Ya, aku harus menjadi orang kaya, agar dihormati semua orang!” Tekadku dalam hati.
Akhirnya, aku memang nekad menuruti bisikan-bisikan gaib, yang selalu saja menyuruhku untuk berpuasa dan bertapa dengan cara berendam sepanjang malam di sungai. Perasaan takut dan was-was sudah kuhilangkan dari dalam benakku. Seandainya saat berendam nanti aku mati dipatuk ular sanca, aku sudah rela. “Daripada hidup dihina orang, lebih baik mati dipatuk ular!” Tekadku dalam hati.
Malam itu, mulailah aku melakukan ritual yang teramat musykil itu. Sebelum turun ke dalam sungai, aku melucuti semua pakaian yang melekat di badan. Pakaian itu kusangkutkan begitu saja pada sebatang ranting kayu di pinggir sungai. Sesaat aku sempat hampir membatalkan niat, ketika tubuhku mulai berendam. Nyaris aku tak tahan merasakan dinginnya air sungai itu di malam hari. Tubuhku menggigil kedinginan, dan gigiku gemeletuk. Namun, aku mencoba tetap bertahan sambil melantunkan zikir-zikir pemberian gaib.
Malam pertama tak terjadi apa-apa. Lalu malam kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya kulalui tanpa godaan yang cukup berarti. Paling-paling cuma melawan dinginnya air sungai.
Biasanya, aku turun ke sungai sekitar pukul 10.00 malam, manakala sudah tak ada seorang pun yang berkeliaran. Kalau kebetulan ada orang yang hendak mengambil air wudhu, aku segera menenggelamkan tubuhku ke dalam sungai. Aku baru naik ke atas sungai, setelah terdengar adzan Subuh di mushola terdekat.
Toh, akhirnya godaan yang kutakutkan datang juga. Ini terjadi pada malam kedua puluh delapan. Ketika sedang khusyuk berzikir, tiba-tiba seluruh tubuhku terasa dingin sekali. Ada sesuatu benda dingin yang merambat pelan dari bawah kakiku. Tubuhku kontan menggigil, menahan rasa geli dan takut. Aku sudah bisa menerka, benda apa yang sedang menjalari tubuhku itu. Ya, aku tengah dibelit seekor ular sanca yang amat besar. Tapi, dalam hati aku berusaha untuk meyakinkan diriku, bahwa yang kualami itu hanyalah godaan belaka. Kalau aku tetap bisa bertahan, berarti aku akan lulus dari ujian. Tapi kalau aku takut dan lari, aku akan gagal meraih cita-citaku untuk menjadi orang kaya raya.
Sungguh berat ujian yang harus kuhadapi saat itu. Dalam saat ketakutan seperti itu, aku semakin memperkeras suara zikirku. Herannya, benda panjang dan dingin itu bukan menghilang, malah makin bertambah banyak saja. Aku mencoba terus tetap bertahan, meskipun sekujur tubuhku dibelit beberapa ekor ular sanca. Aku menutup kedua mataku rapat-rapat, agar tak melihat pemandangan yang sangat menakutkan itu.
“Ya, Allah, kalau aku harus mati digigit ular-ular ini, aku rela ya Allah. Tapi kumohon, lindungilah aku dari kejahatan-kejahatan mereka!”
Doa itu kulantunkan dengan cukup keras, untuk menolak kehadiran ular-ular itu, sekaligus memberikan energi keberanian padaku.
Aneh sekali! Setelah berkali-kali doa yang sama kuucapkan, akhirnya binatang-binatang melata itu satu demi satu memang segera pergi, meninggalkan tubuhku.
Malam berikutnya, godaan binatang berupa ular itu datang lagi. Bahkan berpuluh-puluh ular langsung membelit tubuhku tanpa ampun. Walau begitu, tak seekor pun yang menggigitku. Makhluk-makhluk menggelikan sekaligus berbisa itu hanya melingkar, dan bergantian membelit tubuhku yang polos. Saat aku mencoba untuk membuka mataku, aku melihat seluruh permukaan air sungai telah dipenuhi oleh binatang menjijikan itu. Aku terus bertahan, sambil tetap terus melantunkan zikir pemberian gaib yang selama ini membisikiku. Namun, benteng pertahananku hampir bobol, saat leherku dibelit oleh seekor sanca berkepala dua. Lidah makhluk itu menjulur-julur, seolah-olah hendak mematuk kedua mataku. Sambil memejamkan mata kembali aku memohon perlindungan Tuhan. Akhirnya, ular-ular siluman itu pergi dengan sendirinya, seperti lenyap ditelan gemericik air sungai.
Tiga puluh sembilan malam telah kulalui dengan selamat. Aku berhasil mengalahkan godaan-godaan yang mengganggu semediku. Bukan ular-ular siluman saja yang menggodaku, bahkan pada malam ketiga puluh satu, aku merasa ditunggui oleh beberapa ekor harimau kumbang. Binatang itu duduk-duduk di pinggir sungai, seolah-olah sedang menanti dan siap memangsaku. Tetapi sekali ini pun aku berhasil melewatinya.
Yang kuherankan, kenapa semua godaan itu berupa binatang-binatang buas? Bukan hantu atau lelembut? Padahal, aku paling takut dengan godaan-godaan yang berupa binatang-binatang.
Yang sangat menyeramkan terjadi pada malam puncak, yaitu malam yang ke empat puluh. Waktu itu aku betul-betul mengalami godaan yang sangat berat. Godaan yang sangat mengerikan. Betapa tidak? Dua ekor naga sebesar batang pohon kelapa melingkari tubuhku. Mulut mereka menganga lebar seakan siap memangsaku, sedangkan ekornya menyibakkan air menimbulkan gelombang yang sangat besar.
Mulanya aku masih ingin bertahan, sambil membaca terus melantunkan zikir aneh pemberian gaib. Namun, melihat keganasan makhluk siluman itu pada akhirnya aku tak kuat lagi untuk bertahan. Aku lalu berteriak ketakutan, sambil naik ke atas sungai. Dengan keadaan tubuh telanjang bulat, aku berlari ke sana ke mari sambil menjerit-jerit meminta tolong di kegelapan malam buta itu.
Aku terus berlari sambil berteriak-teriak meminta tolong. Teriakanku yang cukup keras di tengah malam buta itu selanjutnya membangunkan orang-orang sekampung. Mereka berhamburan, keluar dari rumah masing-masing. Dan, begitu memergoki aku yang telanjang bulat sambil berteriak-teriak ketakutan, mereka bukannya menolongku, malah nampak marah dan beringas. Mereka pikir, aku telah mengganggu tidur mereka. Di sebuah bangunan rumah kosong, mereka berhasil menangkapku. Entah siapa yang memulai lebih dulu, tubuhku mereka hujani dengan pukulan-pukulan telak. Seandainya saat itu tak ada Haji Imron, ketua masjid di situ, mungkin aku sudah mati dihakimi massa.
Oleh Haji Imron aku lalu diberi pakaian, dan diajak ke pesantren kecilnya. Pesantren itu letaknya persis di belakang mesjid. Di situ, aku disuruh makan dan minum secukupnya. Lalu, Haji Imron menanyakan, kenapa aku bertingkah laku seperti itu?
Sebetulnya aku ingin menjawab pertanyaannya. Tapi entah kenapa mulutku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Berulangkali aku mencoba untuk berkata-kata, tapi terasa susah untuk menggerakkan lidahku.
“Sudahlah, aku tidak memaksamu untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Yang penting, mulai malam ini, tinggallah di sini, jangan kembali ke surau itu lagi. Santri-santri di sini akan menjaga dan merawatmu. Kamu mengerti dengan ucapanku ini, Thamrin?” tanya Haji Imron, yang terkenal arif dan bijaksana itu sambil menatap kedua bola mataku.
Aku hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti dengan ucapannya.
Sejak malam itu, aku tinggal di pesantren milik Haji Imron. Oleh santri-santri muda aku diberi tugas membersihkan halaman depan dan dalam pesantren, juga membersihkan kamar mandi mesjid. Untuk pekerjaan itu semua, aku mendapatkan jatah makanan dari mereka.
Yang membuatku heran, setelah beberapa hari tinggal di lingkungan pesantren, aku mulai sering melihat makhluk-makhluk berbentuk ganjil di sekitar pesantren itu. Menurut pandanganku, makhluk-makhluk berekor itu sebangsa monyet. Ulah mereka tak begitu jauh dari kebiasaan manusia. Kadang mereka bercanda, kadang berkelahi. Kalau mereka sedang bercanda, aku ikut tertawa melihat candaan mereka. Tapi kalau di antara mereka ada yang menangis, misalnya saja karena kalah berkelahi dengan temannya, maka aku pun ikut-ikutan menangis.
Ya, aku mengikuti gerak-gerik dan tingkah laku mereka. Dan hal ini terjadi tanpa aku sadari sama sekali. Celakanya, gara-gara tingkahku yang nyeleneh ini, para santri dan semua orang yang tinggal di lingkungan pesantren itu menganggapku gila. Hanya Haji Imron-lah yang masih menganggapku sebagai manusia normal.
“Kenapa kamu sering berulah aneh seperti itu, Thamrin?” Tanya Haji Imron suatu ketika.
Dengan jelas kuceritakan apa yang kualami kepada Haji Imron. Ya, bahwa aku selama ini selalu melihat sekawanan makhluk-makhluk mirip kera. Ulah makhluk-makhluk itulah yang sepertinya telah mempengaruhi emosiku.
“Sepertinya, jiwamu berada dalam pengaruh jin jahat, Thamrin. Karena itulah aku sarankan agar lebih kau tingkatkan lagi ibadah sholat lima waktumu. Insya Allah, Tuhan akan memberikan pertolongan kepada hambaNya yang tawakal,” nasehat Haji Imron.
Alhamdulillah! Setelah menuruti nasehat itu, kesehatan otakku semakin hari semakin membaik. Bahkan selama tinggal empat bulan di pesantren, ingatanku jadi jernih sama sekali. Memang, sesekali aku masih melihat penampakkan makhluk-makhluk mirip kera itu. Kadang kala, bisikan gaib itu juga kembali kudengar. Ya, suara lembut perempuan itu menyuruhkan untuk kembali melakukan ritual gila tempo hari.
Aku selalu mencoba bertahan untuk tidak terpengaruh oleh hal-hal gaib yang menggangguku. Sampai suatu hari, ada seorang santri yang menunjukkan majalah Misteri padaku. Setelah membacanya, aku sangat tertarik pada rubrik Catatan Hitam asuhan Bapak Saipudin. Dengan harapan bisa mendapatkan gambaran dan solusi dari persoalan yang aku hadapi, maka akhirnya kuputuskan untuk menulis kisah yang kualami ini.
Semoga kiranya Bapak Saipudin yang bijaksana dapat memberikan bantuan yang sangat berarti bagi saya. Dan akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf bila ada kata yang salah.
KONSULTASI Email ke : putusamodro@gmail.com
google_ad_client = "pub-6102853269265692"; google_ad_host = "pub-1556223355139109"; /* 300x250, created 3/3/11 */ google_ad_slot = "8655118434"; google_ad_width = 300; google_ad_height = 250; google_language = "en" //-->