UNTUK KONSULTASI SOLUSI SILAHKAN email ke : putusamodro@gmail.com

ANAK JADI TUMBAL PESUGIHAN

Perisitiwa ini terjadi pada akhir 2001 yang lalu. Seperti kita ketahui, isyu tentang keberadaan bank gaib yang berada di beberapa tempat di Pulau Jawa masih sangat kontroversial ketika itu. Konon, biasanya persekutuan dengan modus bank gaib, yaitu berupa pinjaman uang pada makhluk halus yang harus dibayar dalam jangka waktu yang ditentukan. Tapi kali ini, tebusan yang harus dibayar berupa tumbal!
Kisah mistis kali ini, sebuah kejadian nyata yang dialami oleh salah seorang pelaku yang pernah datang ke tempat pesugihan berupa bank gaib. Nama-nama para pelaku sengaja kami samarkan untuk menjaga citra diri mereka. Berikut pengakuan salah seorang saksi yang berhasil kami tuliskan kembali...


Aku dilahirkan di Desa Jatimulya, dari sepasang suami istri yang berprofesi sebagai penjual makanan. Setelah dewasa, aku menikah dengan seorang gadis pilihanku dari desa sebelah kampung halamanku. Gadis itu bernama Mumun.

Karena sifat manja yang ditanamkan sejak kecil oleh ke dua orang tuaku, akhirnya berakibat buruk pada saat aku sudah berumah tangga. Aku menjadi seorang bisa dikatakan ingin hidup enak tapi enggan mencari pekerjaan yang layak.

Meski pernikahan kami sudah berjalan dua tahun lebih, namun beberapa usaha yang aku geluti belum membuahkan hasil yang memuaskan. Tak jarang, untuk makan sehari-hari saja, masih bergantung pada orang tua. Hingga suatu ketika, istriku hamil dan melahirkan seorang putri yang cantik. Sebut saja namanya Mely.

Mulanya aku merintis pekerjaan sebagai pengrajin batu bata. Beberapa tahun kemudian, usaha itu pun berhenti karena kurang modal. Beberapa kali aku mencoba mencari usaha-usaha yang lain. Namun lagi-lagi aku belum juga menemukan pekerjaan yang cocok dengan kepribadianku. Di saat aku sedang kalut dengan keadaan, aku kedatangan seorang teman dari desa lain. Sang teman menawarkan suatu jalan alternatif mencari kekayaan yang terdengar sangat musykil bagiku.

Temanku yang sebut saja bernama Solihin itu memang tergolong berada di desanya. Kedetangannya ke tempatku, karena Solihin disuruh oleh seorang perantara dari Desa Terisi agar mencarikan tujuh peserta lain untuk diajak ke suatu tempat keramat yang ada di pesisir laut kidul Jawa Barat. Maksudnya tak lain dan tak bukan adalah untuk melakukan peminjaman uang ke bank gaib.

Menurut Solihin, segala kebutuhan mulai dari ongkos dan kendaraan dijamin oleh Abbas, sang perantara tersebut. Aku dan teman-teman cukup membawa KTP dan botol kosong bekas air mineral. Di sana, konon ada sebuah tempat yang dirahasiakan berupa gua untuk meminta pesugihan berupa bank gaib.

Terus terang, aku tidak percaya pada cara-cara nyleneh yang diutarakan temanku itu. Tapi mengingat kondisi keluarga yang memprihatinkan, akhirnya aku turuti saja ajakan mereka. Sekedar mencari peruntungan! Pikirku ketika itu.

Sesuai dengan waktu yang direncanakan, rombongan disuruh berkumpul di suatu tempat yang ditentukan untuk menunggu jemputan dari Abbas selaku perantara.

Pagi itu, sekitar pukul 06.00 WIB, datanglah sebuah mobil Kijang. Kenmdaraan inilah yang kemudian membawa rombongan kami menyusuri arah selatan menuju Pantai Pangandaran di daerah Ciamis, Jawa Barat. Setelah sampai di sana, kami diajak memasuki sebuah goa yang pengap. Kami semua menemui seorang juru kunci yang berpakaian serba putih ala wali.

Setelah melakukan uluk salam, Abbas mengutarakan maksud kedatangan kami. Juru kunci tersebut tidak langsung menyanggupi, melainkan memberikan sebuah nasehat bahwa apa yang kami lakukan adalah perbuatan yang dilarang agama. Namun setelah Abbas mendesak, akhirnya juru kunci itu pun memenuhi permintaan kami dengan syarat-syarat dan resiko yang bakal terjadi.

Persyaratannya antara lain: peserta harus menyerahkan KTP dan memasukkan ombak air laut ke dalam botol yang kami bawa. Para peserta tidak boleh menciduk air laut secara langsung, melainkan menadahkan botol itu pada ombak yang datang sendiri secara bergelombang. Setelah semuanya diuraikan, kira-kira setengah jam kemudian kami keluar untuk mendapatkan air tersebut.

Setelah dapat, semua orang masuk kembali ke ruangan sang juru kunci. Lelaki berjubah putih itu memberikan lagi beberapa persyaratan yang harus disediakan oleh tiap-tiap peserta setelah sampai di rumah nanti. Di antaranya kami harus menyediakan kamar khusus untuk meletakkan sarana ritual nanti.

Air laut yang ada di dalam botol harus dicampur dengan bunga tujuh rupa. Peserta juga harus menyediakan tujuh jenis minuman yang berbeda dalam gelas, seperti kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, kopi jahe, air kelapa, dan beberapa sarana ritual lainnya. Semuanya ditutup dengan kain putih. Pelaku juga tidak boleh tertidur pada tengah malam.

Di dalam kamar kami harus menunggu makhluk yang akan datang memenuhi hajat bagi tiap peserta. Menurut juru kunci, apapun yang terjadi para pelaku tidak boleh beranjak dari kamar. Apabila ritual itu gagal, para pelaku siap menanggung resiko yang akan terjadi kelak. Setelah semua persyaratan beres, kami pun pulang kembali ke rumah dan desa masing-masing.


Sampai di rumah, aku mempersiapkan segalanya, termasuk kamar khusus untuk acara ritual. Ketika malam semakin larut aku mulai melakukan ritual itu. Bau kemenyan yang mengepul menyengat di kedua rongga hidungku. Aku masih duduk bersila menahan rasa kantuk yang sedari tadi menggayut di kelopak mataku.

Sesaat kemudian, tiba-tiba ruangan kamarku serasa berguncang. Aku merasakan seolah rumahku digoyangkan oleh sesuatu kekuatan yang amat dahsyat. Aku sangat terkejut dan beranjak dari tempat duduk untuk bangkit ke belakang. Setelah itu entah dari mana datangnya, di depanku tampak asap putih mengepul. Lambat laun asap itu menjelma menjadi sosok makhluk yang mengerikan. Makhluk tinggi besar itu berdiri tepat di depanku. Terlihat jelas rambutnya yang gondrong, dengan taring mencuat di mulutnya. Tubuhnya tampak berwarna belang-belang mirip zebra.

Makhluk itu menggeram. Seraya menyeringai dia mendekatiku. Mungkin makhluk itu hendak mencekikku. Saat itu juga aku berusaha menghindar lari karena didera rasa takut yang membuncah. Ingin sekali aku berteriak. Tapi entah kenapa suaraku tersekat di tenggorokkan. Aku terus berusaha menggapai daun pintu untuk keluar. Setelah sampai keluar, aku lari mendekati ruang tamu. Untung saja makhluk itu tidak terus mengejarku.

Namun masih kurasakan, seakan rumahku berguncang hendak roboh. Tapi anehnya, istri dan anakku tidak terusik sama sekali dengan peristiwa yang kualami. Memang, kejadian itu hanya berlangsung sementara, kerana sesaat kemudian keadaan kembali normal. Karena takut, aku pun tertidur di sofa ruang tamu. Akhirnya, kunyatakan ritual itu gagal total.

Keesokan harinya, aku mendatangi beberapa rumah temanku. Mereka pun mengaku sama mengalami peristiwa semalam. Akhirnya, semuanya gagal. Begitu juga Abbas, sang perantara.

Seminggu setelah kejadian itu, tersiar kabar dari teman-teman bahwa mereka kerap kali diganggu makhluk tinggi besar itu. Makhluk itu datang dan menuntut ganti rugi atas kekecewaannya. Tidak sedikit di antara teman-temanku mengalami kesurupan yang nyaris merenggut nyawanya. Bahkan di antara mereka banyak yang anak-anaknya mengalami penyakit yang sangat aneh. Untuk saja ada orang-orang pintar di desa masing-massing yang segera menangani.

Dua hari setelah kabar itu, menjelang maghrib istriku yang baru pulang dengan anakku dari tempat mertuaku mengalami peristiwa yang selama ini aku takutkan. Setelah tiba di rumah, anakku yang berusia 2 tahun itu mendadak kejang-kejang. Semua tetangga hadir, termasuk ibuku untuk melihat keadaan anakku.

Sebelumnya, anakku tidak mengalami sakit apa-apa. Setelah semuanya berkumpul, anakku pun menghembuskan nafas yang terakhir. Semua orang yang hadir termasuk istri dan ibuku menangis meratapi kepergian anakku yang masih belia itu. Aku sangat terpukul dan menyesal dengan kejadian ini.

Saat kematiannya, ada sesuatu yang aneh aku lihat di leher anakku. Begitu juga pada tetangga yang hadir. Kami semua melihat seperti ada bekas cekikan di leher Mely, anakku. Akhirnya keadaan pun menjadi gempar. Ada yang beranggapan anakku terkena tulah makhluk halus.

Namun ada juga yang mengatakan, anakku menjadi tumbal orang yang melakukan pesugihan. Hanya aku yang tahu pasti tentang semuanya. Dan, aku hanya menyesali perbuatan yagn pernah kulakukan itu. Benarkah anakku menjadi tumbal akibat persekutuan yang gagal? Wallahu'alam.

Pesugihan Nyai Blorong

Nyi Blorong dipercaya sebagai penglima terkuat di kerajaan lelembut Laut Selatan. Dengan kemampuannya itu, ia di anggap sanggup mewujudkan setiap permintaan manusia yang mengajaknya bersekutu. Tetapi, benarkah kepingan-kepingan emas yang diberikan bukan kisah legenda semata?
Ombak Pantai Selatan bergulung-gulung dahsyat. Bak makhluk apa saja yang ada disekitarnya. Banyak orang mengidentifikasi tempat itu sebagai daerah kekuasaan Nyi Roro Kidul atau Nyi Blorong. Tentu saja dengan segenap senopati dan punggawanya yang terdiri dari bermacam-macam makhluk halus.
Jika Nyi Roro Kidul selama ini dikenal senagai penguasa gaib keraton Pantai Selatan, maka Nyi Blorong dikenal sebagai salah satu petinggi di jajaran keraton Segara Pantai Selatan yang memiliki kesaktian yang luar biasa.

Karena kehebatannya itu pula. Nyi Blorong di anggap bisa memback-up sepenuhnya setiap keinginan manusia yang menjalin persekutuan gaib dengannya. Nyi Blorong yang di gambarkan sebagai sosok wanita dengan tubuh ular itu di percaya dapat mendatangkan kekayaan bagi orang yang mengajaknya bersekutu. Dengan melakukan persekutuan tersebut, setiap kali Nyi Blorong datang akan meninggalkan keping-keping emas di tempat dia menemui orang yang menjalin hubungan dengannya.
Emas yang ditinggalkan oleh Nyi Blorong sengaja diberikan kepada orang yang menghambanya itu sebenarnya merupakan sisik-sisik tubuh Nyi Blorong sendiri. Sisik-sisik tersebut akan terus mengalami perubahan setiap kali menerima persembahan sesaji dari orang yang mengajaknya bersekutu. Sisik-sisik yang ditinggalkan itu akan berubah menjadi emas murni.
Tampilan Nyi Blorong yang nampak sebagai seorang ratu dengan kebaya tradisional yang sangat memikat itu sebenarnya merupakan perwujudan kamulfase dari sosok Nyi Blorong yang sebenarnya. Karena kesaktiannya, dia bisa nampak seperti itu. Sebenarnya, kain panjang sulaman benang emas yang dikenakannya itu adalah wujud dari tubuhnya bagian bawah yang berupa ular raksasa.
Untuk menyokong penampilan di depan para pemujanya, agar selalu tampil anggun, cantik, dan berwibawa, Nyi Blorong selalu mensyaratkan kepada orang yang mempersekutukannya agar melakukan rirual ‘cawis sesaji’. Ritual tersebut umumnya berlangsung pada malam-malam purnama. Konon, pada saat malam purnama penuh Nyi Blorong akan tampak semakin cantik, dan tuah kesaktiannya berpendar sempurna. Tuah kesaktian itu sendiri, akan mendukung penampilan kecantikannya. Namun, ketika bulan purnama mulai surut, dia akan segera nampak dengan perwujudan aslinya. Yakni siluman kepala mirip manusia dengan tubuh bagian bawah berupa ular raksasa.
Sudah barang pasti banyak syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menjalin persekutuan dengan Nyi Blorong dan mendapatkan sisik-sisik emas dari tubuhnya. Yang harus dilakukan pertama kali adalah melakukan ritual ‘mbucal badan’ (berpuasa dan bersemedi) di wilayah pantai laut selatan selama empat puluh hari empat puluh malam. Ritual ini sangat menentukan berhasil tidaknya persekutuan. Sebab, pada ritual inilah Nyi Blorong akan muncul dan memberikan syarat-syarat khusus kepada yang menginginkan persekutuan.
Bila syarat-syarat khusus, yang umumnya berupa penampakan wilayah gaib keraton Laut Selatan dan Nyi Blorong dalam mimpi sudah didapatkan, maka ritual lanjutan berupa larung sesaji di wilayah laut selatan baru bisa dilaksanakan. Sesaji pokok yang harus dilarung, biasanya berupa dua sisir pisang raja, kinang, sekar abon-abon, jajan pasar lengkap, dan beragam tanaman ubi-ubian atau yang biasanya disebut ‘pala kepandhem’. Sedangkan barang-barang yang harus dilurung untuk dipersembahkan kepala keraton gaib Laut Selatan dan Nyi Blorong harus dibagi dua masing-masing diletakkan dalam sebuah wadah yang terbuat dari kuningan.
Pada wadah yang pertama disertakan kain panjang bermotif cinde ijem, cinde abrit, sinjang limar, dan kain penutup dada bermotif solog, gadhung mlathi, gadhung, udorogo, jingga, bangun tulak, serta tikar pasir yang ditutupi mori. Selain itu juga harus disertakan minyak wangi, dupa ratus, dan uang rogam ratusan.
Sedangkan pada wadah yang ke dua di isi dengan kain panjang bermotif poleng, teluh watu, kain penutup dada bermotif dringin, songer pandhan benethot, podhang ngisep sari, bangun tulak, minyak wangi, serta dupa ratus, dan uang rogam seratus rupiah.
Ritual labuhan barang dan sesaji ini tidak hanya dilakukan sekali, melainkan harus dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada tangal dan waktu yang sama dengan ritual larungan yang pertama kali diadakan.
Selain ritual yang diatas, Nyi Blorong juga menerapkan syarat yang sangat berat bagi orang yang menjalin persekutuan gaib dengannya. yaitu mereka yang bersekutu dengan Nyi Blorong sama dengan melakukan kontrak ‘mati’ dengannya. Sebab saat ajal menjemput, arwah orang tadi akan menjadi bagian dari penghuni keraton gaib Laut Selatan. Dia akan menjadi abdi dalam dan untuk selamanya di sana. Selain itu, dalam jangka waktu tertentu, Nyi Blorong juga akan meminta tumbal nyawa untuk penambahan prajuritnya.
Tumbal jiwa ini pula yang ikut memberi andil dalam meremajakan kulit ular Nyi Blorong. Sehingga, semakin banyak tumbal yang dipersembahkan maka akan semakin banyak keping-keping emas yang akan diterima dari Nyi Blorong. Oleh karena itu, tumbal nyawa ini tidak hanya berfungsi sebagai penambahan prajuritnya, tetapi juga sebagai penunjang kecantikan dan kesaktian Nyi Blorong. Sementara disisi lain, tumbal nyawa manusia ini akan digunakan sebagai sarana pemuas nafsu Nyi Blorong.
Nyi Blorong memiliki nafsu seksual yang luar biasa. Dan untuk memuaskan hasratnya, tumbal-tumbal itulah akan dijadikan semacam budak pemuas nafsunya. Dengan terpenuhi hasratnya, kecantikannya akan senantiasa terpelihara. Tidak hanya itu saja, biasanya si pencari pesugihan juga harus melayani Nyi Blorong pada saat-saat tertentu sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan sisik emasnya. Dan bersebadan dengan Nyi Blorong tidak jauh sama seperti menyerahkan hidup kepadanya. Sebab. dia juga menyedot energi kejiwaan untuk menggantikan sisiknya yang terlepas.

Solusi Masalah Hutang

Anda punya masalah hutang menumpuk sudah kemana -mana tidak ada hasil malah ditipu, mbah gober solusinya,banyak pasien mbah mengeluhkan hal yang sama cari pesugihan tidak ada hasil,hutang semakin numpuk,cari solusi malah kena tipu,dengan solusi pesugihan ini insya allah mbah akan bantu sampai tuntas dan sampai bisa bayar hutang sampai lunas uang asli dan tidak ada rekayasa belaka,mbah menjamin berhasil , jika gagal,mahar  anda akan dikembalikan.tidak perlu ragu & khawatir ditipu,sudah ribuan orang yg berhasil &  menjadi kaya raya.

1. Uang balik pecahan Rp.50.000,- sebanyak 1 lembar MAHAR Rp.10.000.000,- Proses 3 hari,hasilnya bisa digunakan sesuka hati,pantangan tidak boleh dibelanjakan diwarung disekitar rumah.
2. Uang balik pecahan Rp.100.000,- sebanyak 1 lembar,MAHAR Rp.15.000.000,- Proses 3 hari,hasilnya bisa digunakan sesuka hati,pantangan,pemakaiannya  tidak boleh  tidak boleh dibelanjakan di warung di sekitar rumah.

3.Pasang susuk mahar Rp.10.000.000,- susuk intan,mas,berlian asli 100% untuk kecantikan,kekebalan,tidak ada pantangan,berlaku seumur hidup,jika bosan pakai,bisa dibuang sendiri tanpa bantuan orang lain.
4. MEDIA PENGLARISAN DAGANG MAHAR Rp.5.000.000,- dijamin dagangan anda laku keras seperti kacang goreng,habis terjual.GARANSI

5.JUAL MUSUH MAHAR  Rp.17.000.000, hasil yang didapat sebanyak Rp.15.000.000.000,- menumbalkan musuh untuk pesugihan,proses ritual 1 hari selesai.musuh mati mendadak.

Semua Asli tidak ada rekayasa belaka jika gagal mahar akan dikembalikan,tidak ada yang dirugikan,mbah suka orang yang terbuka tidak ada yang ditutup-tutupi kalo ada masalah berat menimpa anda.
Mbah TIDAK BUKA CABANG DIMANA-MANA  CUMA ADA SATU ,“mohon maaf karena banyaknya permintaan permohonan pesugihan,harap bersabar jika SMS/telp anda tidak dibalas…!!

Cerita Penganut Pesugihan

Bila sedang jatuh pailit, kemudian dililit banyak utang, bisa membuat seseorang gelap mata. Apalagi bila iman sedang goyah. Agar tidak jatuh lebih lagi, lalu mencari jalan pintas untuk memecahkan persoalan.
Ada beberapa cara untuk itu. Kalau takut masuk bui karena tertangkap korupsi, ngecu, maling dan merampok, bisa mencari cara yang lebih aman. Misal dengan mencari pesugihan. Tapi cepat kaya dengan pesugihan, juga tak bisa dibilang aman. Kadang akibatnya malah lebih mengerikan! Sebab kebanyakan, harus meminta tumbal nyawa segala. Kalau ada yang tidak memakai tumbal, laku prihatin-nya juga tidak enteng. Puasanya melebihi orang bertapa. Begitulah yang sering terdengar di bursa pesugihan.

PULAU Jawa, terdapat banyak tempat pemberi pesugihan. Makam keramat, gua angker, pohon wingit, sendang ajaib, misalnya, sering dianggap jadi 'pemberi' harta. Masing-masing tempat, punya 'cara' dan syarat rata-rata hampir sama. Pandansigegek tak jauh dari Parangkusuma Jogyakarta, kondang jadi tempat cari pesugihan. Sejak zaman dulu, tempat itu dipercaya sebagai gudang tuyul pesugihan. Bisa dipungut salah satu, tapi dengan syarat tertentu.
Dusun Dlepih Kahyangan, Tirtomoyo, Wonogiri, ada semacam petilasan dari Panembahan Senopati yang juga jadi tumpuan para pencari pesugihan. Petilasan itu hingga kini dibanjiri peziarah dari berbagai daerah. Begitu pula Pantai Slamaran, Pekalongan dan Pemandian Kera Mendit, Malang Jawa Timur.
Tapi tempat mencari pesugihan yang paling kondang di Indonesia adalah Gunung Kawi! Begitu populernya tempat ngalab berkah ini, maka peziarahnya datang dari seantero Nusantara.
Ada ilmu pesugihan yang dikenal dengan 'babi ngepet'. Di Jawa Timur, biasa disebut 'celeng kresek'. Untuk menggasak harta tetangga, si pelaku minta bantuan celeng jadi-jadian. Biasa beroperasi siang malam. Tapi risikonya juga berat. Kalau tertangkap penduduk bisa digebuki hingga tewas. Si pemilik juga ikut-ikutan njedhut.
Ada cerita menarik tentang pesugihan 'celeng kresek' dialami warga Jawa Timur. Pak Sarno (sebut saja begitu), semula hidup sederhana bersama keluarga. Beberapa lama, dia jarang kelihatan berada di tengah masyarakat.
Tanpa diawali cerita ini-itu, Pak Sarno lalu membuka usaha warung soto. Dalam tempo relatif singkat, sotonya laris. Warung jadi gede dan tambah laris manis. Tapi Pak Sarno tetap jarang bergaul di tengah masyarakat.
Lalu muncul rumor negatif tentang kehidupannya. Isu paling santer, Pak Sarno cepat kaya karena memelihara pesugihan 'celeng kresek'. Kalau semula hanya satu dua yang percaya, lalu berubah makin banyak. Untuk meyakini rumor itu, beberapa orang bertanya kepada salah satu 'orang pintar' yang juga warga setempat. Setelah diterawang dengan 'mata batin', dukun itu pun mengiyakan. Terang saja warga lalu waspada.
Suatu kali ada warga memergoki ada 'celeng' masuk desa. Kemudian, bukan sekali dua kejadian itu. Eh, malah ada yang mengatakan, 'celeng'-nya selalu menghilang di rumah Pak Sarno. Nahas pun menimpa. 'Celeng kresek' itu bisa ditangkap ramai-ramai. Terang saja langsung dicacah-cacah. Bahkan dibakar pula. Menariknya, bersamaan dengan itu, Pak Sarno kelimpungan di rumah dan mati tak lama kemudian. Tubuhnya pun hangus.
Setelah dirunut lebih jauh, Pak Sarno ditengarai mencari pesugihan di daerah Watudodol. Terletak di kawasan hutan lindung antara Banyuwangi dengan Situbondo Jawa Timur. Siapa saja bisa mendapat pesugihan 'celeng kresek' di situ. Tapi harus kuat puasa ngebleng selama tiga hari di Watudodol.
Sesajinya berupa kembang telon, minyak wangi dan secawan darah ayam cemani. Kemudian ditaruh di bawah sebuah pohon paling besar terdapat di situ.
Setelah dibacakan mantera panggilan. Ada orang yang bisa membantu baca mantera di sekitar itu. Kalau doanya terkabul, celeng gaib itu akan muncul. Setelah berlangsung 'dialog' apa yang dikehendaki, ambillah air liurnya.
Di rumah, air liur dibasuhkan pada anak belum mencapai akhil baliq. Anak siapa pun bisa. Tak lama, anak itu akan meninggal sebagai lebon (tumbal).

AJIAN BUTO IJO

Perlahan – lahan jasad Ningrum yang di bungkus kain putih diturnkan ke liang
lahat. Para pelayat memandang dengan tatapan pilu. Tapi tidak demikian dengan Mbah
Santo, laki – laki tua yang sering bertingkah aneh itu Cuma geleng – geleng kepala sambil
berguman dengan nada tidak jelas.
“ Gawat. . . gawat!” geragap Mbah Santo berulang – ulang sambil mencermati
bungkusan kain putih yang mulai dilepas dari ikatanya.

Apa yang terjadi? Rupanya, dimata Mbah Santo, yang ada di dalam bungkusan kain
putih itu bukanlah jasad Ningrum, melainkan hanyalah sebatang pohon pisang atau gedebog.
Ningrum yang kembang desa itu, meninggal setelah menderita sakit beberapa
minggu. Tidak ada yang tahu apa penyakit yang dideritanya. Menurut kabar burung yang
beredar, dia meninggal karena mengidap penyakit AIDS, karena sudah bukan rahasia lagi
kalau gadis cantik bertubuh sinal itu bekerja dikota sebagai wanita penghibur atau kupu –
kupu malam.
“ Kasihan Ningrum, dia masih muda tapi harus mati dengan cara yang
mengenaskan,” cetus salah seorang pelayat setelah lubang kubur tempat peristirahatan
terakhir Ningrum ditutupi dengan tanah.
Setelah upacara pemakaman Ningrum selesai, satu persatu para pelayat mulai
meninggalkan kuburan. Tapi tidak dengan Mbah Santo. Laki – laki tua itu masih berada di
tempatnya sambil menatap gundukan tanah merah yang berhiaskan batu nisan dan taburan
bunga tujuh rupa.
“ Gawat, kampung ini akan banjir darah!” guman Mbah Santo. Kemudian setelah
diam sejenak, laki – laki tua itu mengambil segenggam tanah merah dari pusara Ningrum dan
pulang dengan wajah diliputi kegelisahan.
Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan dan akan dilakukan oleh Mbah Santo. Tapi
yang jelas, setelah setelah pemakaman Ningrum, malam harinya awan tebal menyelimuti
langit disertai kilatan halilintar. Tapi anehnya, meski langit berselimut mendung di angkasa,
namun hujan tidak turun – turun. Tentu saja keanehan alam ini membuat orang bertanya –
tanya.
“ Aneh, meski mendung tebal dan sejak tadi petir terus menerus menyambar, tapi
hujan masih belum turun – turun juga,” cetus Roy yang malm itu ngobrol dengan teman –
temanya di pos kampling.
“ Benar, malam ini memang kelihatan aneh tidak seperti malam – malam biasanya.”
Sambung Takim.
“ Jangan – jangan ini ada hubunganya dengan kematian Ningrum!” sahut Kacung
tiba – tiba dengan suara agak keras sehingga membuat yang lainnya jadi tersentak.
“ Cung, kamu kalau bicara jangan ngawur!” celetuk Takim, mengingatkan.
“ Aku tidak ngawur. Aku hanya takut apa yang dikatakan Mbah Santo akan jadi
kenyataan. “
“ Memangya apa yang dikatakan orang tua itu?
“ Aku sempat mendengar, dia bilang kampong kita akan banjir darah,” jelas kacung
dengan suara bergetar.
Mendengar jawaban Kacung, semua langsung terdiam. Mereka saling
berpandangan. Ada perasaan tidak enak yang tiba – tiba menghinggapi hati mereka. Meski
mereka tahu otak Mbah Santo kurang waras, namun anehnya justru itulah yang membuat
sebagian antara mereka merasa yakin apa yang dikatakan Mbah Santo akan jadi kenyataan.
Karena tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa mereka, seperti dikomando para
pemuda itu segera pulang ke rumah masing – masing. Mereka benar - benar takut apa yang
dikatakan Mbah Santo jadi kenyataan. Padahal mereka belum tahu apa yang dimaksud banjir
darah oleh Mbah Santo. Tapi dihati mereka sudah berselit bahwa banjir darah adalah
kematian. Dan mala mini seakan mereka sudah mencium bau kematian.
***************
Malam beranjak semakin gelap. Langit hitam pekat seperti lautan jelaga. Di
angkasa petir bagaikan lidah naga yang menyambar – nyambar dengan ganas deisertai
hembusan angin kencang.
Sementara orang – orang sudah tertidur lelap di ranjang masing – masing,
disebuah gubug reyot yang terletak agak jauh dari rumah penduduk, Mbah Santo sedang
duduk bersemedi di dalam kamarnya. Wajah lelaki tua Nampak tenang, dia sedang berusaha
memusatkan segenap panca indranya pada satu titik di mana dia akan mendapat kejelasan
atas sesuatu yang telah membuat hatinya gelisah.
Keesokan harinya, ketika fajar mulai merebak di ufuk timur, Mbah Santo pergi
kerumah Takim. Tentu saja pemuda yang semalam sempat dicekam rasa takut itu jadi
terkejut melihat kedatangan Mbah Santo.
“ Ada apa Mbah?” Tanya Takim sambil mengusap –usap matanya karena
semalam kurang tidur.
“Kim, apa kamu pernah melihat Ningrum telanjang?” ujur Mbah Santo balik
bertanya pada Takim?
Takim jadi terkejut mendengar partanyaan Mbah Santo yang tidak terduga itu.
Ternyata orang tua itu tidak hanya otaknya saja yang kurang waras tetapi juga kurang ajar,
pikir Takim.
“ Mbah Santo kalau bicara yang baik dan jangan begitu,” ujur Takim.
“ Aku ini serius, Kim. Kalau kamu pernah melihat Ningrum telanjang, tentunya
kamu pernah lihat noda kehitaman sebesar uang logam lima puluhandi bawah pusar atau
belahan buah dada Ningrum. Kalau kamu pernah lihat tanda seperti itu, tolong beri tahu aku.
Karena itu merupakan tanda Ajian Buto Ijo.”
Setelah menjelaskan panjang lebar apa itu Ajian Buto Ijo, kemudian dengan
tergesa – gesa Mbah Santo pulang. Dan Takim hanya berbengong – bengong memandang
keergian Mbah Santo. Baru kali ini dia melihat orang tua itu kelihatan waras meski apa yang
dikatakanya tidak masuk akal.
Sepeninggal Mbah Santo, Takim jadi gelisah. Dia memang tidak pernah melihat
Ningrum dalam keadaan telanjang bulat, tapi dia pernah melihat gadis itu mengenakan baju
tipis yang tembus pandang. Dan dibalik gaun itu dia sempat melihat noda kehitaman sebesar
uang logam lima puluhan dibelahan buah dada Ningrum. Apakah noda kehitaman di belahan
dadanya yang menghitam sebesar telapak orang dewasa.
Takim benar – benar gelisah mendengar percakapan ibu dan tetangganya itu.
Kalau yang dikatakan tetangganya itu benar, berarti apa yang dikatakan Mbah Santo juga
benar.
“ Ajian Buto Ijo itu biasanya digunakan oleh perempuan nakal. Ajain ini
digunakan orang supaya kuat berhubungan di tempat tidur sekaligus sebagai pemikat dan
mencari pasugihan. Orang yang mempunyai Ajian Buto Ijo biasanya tidak berumur panjang,
karena itu memang sudah perjanjianya. Dan bila orang itu sudah mati, maka rajah hitam di
bawah pusar atau belahan buah dadanya akan mengembang ke seluruh tubuhnya, kemudian
orang tua itu akan bangkit dari kuburanya menjadi Buto Ijo yang siap menyebar petaka,”
begitu tutur Mbah Santo yang masih diinat jelas oleh Takim.
Karena tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi dikampungnya, malam itu juga
Takmim ke rumah Mbah Santo. Beberapa teman mengajak ngobrol di pos kampling ditolak.
Bahkan ketika dia ditertawakan karena memberi tahu maksud kedatanganya kerumah Mbah
Santo, Takim juga tidak peduli.
Sampai dirumah Mbah Santo, Takim langsung menceritakan apa yang dilihat
dan yang didenggarnya engenai noda hitam di bawah pusar dan belahan buah dada Ningrum.
Mendengar cerita Takim wajah Mbah Santo langusng tegang seperti disengat arus listrik
tagangan tinggi.
“ Gawat, kalai terlambat kampung ini bisa banjir darah!” kata Mbah Santo lalu
segera mengambil tanah kuburan yang dulu diambil dari pusara Ningrum. “ Kim, kita harus
cepat pergi sebelum ada korban,” ajaknya sambil menyeret tangan Takim.
Baru saja Mbah Santo dan Takim keluar rumah, mereka mendengar suara
teriakan dari arah utara kampung. Dan beberapa saat kemudian mereka melihat orang –
orang berlarian seperti di kejar hantu.
“ Ada apa ini? Tanya Mbah Santo pada seseorang yang hampir saja
menabraknya.
“ Anu, Mbah . . . ada makhluk aneh seperti orang gila sedang mengamuk.
Beberapa orang yang tertangkap langsung dicekik!” jawab orang itu dengan wajah pucat dan
suara terbata – bata karena dicekam rasa takut.
“ Celaka dia sudah jadi Buto Ijo!” seru Mbah Santo setengah mengeluh.
Benar apa yng dikatakan Mbah Santo. Ditengah kampung Nampak makhluk
hitam tinggi besar dengan muka kehijauan sedang mengobark – abrik rumah penduduk.
Melihat kehadiran Mbah Santo dan Takim, makhluk tinggi besar yang oleh Mbah Santo
disebut Buto Ijo itu langsung menyerang.
“ Awas mundur, Kim!” teriak Mbah Santo mengingatkan. Kemudiam Mbah
Santo dengan cepat menyiramkan tanah kubur yang dibawanya kea rah makhluk itu.
Makhluk tinggi besar itu menjerit kesakitan dan tubuhnya mengeluarkan asap seperti
terbakar.
“ Ayo kembali ke asalmu!” seru Mbah Santo sambil terus menyiram makhluk itu
dengan tanah kuburan.
Makhluk itu jatuh bergulingan di tanah dan akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Tubunhya yang hitam bersisik perlahan – lahan mengelupas dan kemudian berubah menjadi
sosok gadis cantik dengan wajah dan kulit yang sudah memucat.
“Ningrum!” seru beberapa orang yang menyaksikan keanehan itu, hampir
bersamaan.
“ Sebaiknya jasad Ningrum segera kita rawat dan besok kita makamkan
kembali!” kata Mbah Santo.
Keesokan harinya ketika kuburan Ningrum dibongkar dan jasad Ningrum
dibongkar dan jasad Ningrum di makamkan kembali, orang – orang terkejut karena di dalam
kuburan Ningrum hanya ada sebatang pohon pisang yang dibungkus kain kafan. Mereka
seakan – akan tidak percaya kalau yang dimakamkan dulu itu bukanlah jasad Ningrum
melainkan hanyalah sebatang gedebog.

PESUGIHAN NYAI SOBRAH

Adalah sebuah cerita misteri, cerita serem yang membuat mrinding. Sebut saja tarmiyem seorang ibu muda dari desa tengger, dua tahun lalu hidupnya baik-baik saja, nyaman, tentram dan bahagia bersama suami dan satu orang anaknya, namun itu semua tidaklah lama bertahan, pada hari kamis pon, saat petang dan matahari enggan menampakan sinarnya lagi, muncul berita yang membuat ibu satu orang anak ini gelisah.
Dia dikabari salah seorang keluarganya kalau ayahnya sedang sekarat dirumah sakit. Kemudian esoknya termiyem pergi kerumah sakit. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam melewati jalan aspal bebatuan yang terjal dan sedikit rusak akhirnya dia sampai dirumah sakit ibu pertiwi, tepatnya di kamar mawar no 4. sungguh keadaan ayahnya sangat parah mau mati pun susah sekali, entah apa yang terjadi pada beliau seperti ada yang mengganjal kematiannya.

cerita misteri
Tarmiyem pun hanya bisa terdiam dan bertanya-tanya dalam hati apakah gerangan yang terjadi pada ayah yang disayanginya itu. Sampai pada akhirnya salah seorang paman tarmiyem bercerita mengapa ayahnya sulit sekali meninggal. Sukarjo 52 tahun merupakan paman tarmiyem dari keluarga bapaknya, ia bercerita 35 tahun yang lalu saat masih muda ayah tarmiyem adalah seorang lelaki yang gemar mencari ilmu kanuragan, sering menyepi dan puasa mutih, sudah banyak tempat-tempat angker, wingit dan keramat yang ia datangi sampai pada akhirnya ia bertemu seorang guru kanuragan yang linuwih dan memberinya sebuah pusaka berupa wayang golek yang berwujud wanita cantik. Pusaka itu bernama wayang nyai sobrah dan dikenal sebagai sosok lelembut atau makhluk halus yang berpower tinggi, ada sebuah cerita misteri, bahwapemegang pusaka tersebut tidak akan hidup miskin oleh karena itu kemudian dikenal sebagai pesugihan nyai sobrah.


Diduga ayah nya sekarat dan sulit meninggal lantaran belum mewariskan pusaka tersebut. Banyak saudara tarmiyem yang ditawari supaya menjadi pewaris pusaka tersebut namun tidak ada yang cocok sampai pada akhirnya tarmiyem ditawari pusaka tersebut. Pada awalnya tarmiyem tidak mau menerimanya lantaran takut tetapi pada akhirnya dia mau karena tidak tega melihat kondisi ayah nya yang setengah mati itu. Sesaat setelah bersedia menerima ilmu tersebut dia diberi pusaka wayang untuk kemudian dibawa pulang dan disimpan. Ternyata dugaan mereka memang benar, 2 hari setelah mewariskan pusaka terkutuk tersbut ayah tarmiyem meninggal dunia. Namu apa yang terjadi dengan tarmiyem, dua bualan lebih tiga hari, tarmiyem memegang pusaka tersebut. Tanpa diduaga usaha tarmiyem berkembang pesat bahkan diapun sudah mulai mendirikan usaha seperti mini market. Namun musibah besar pun datang ditengah kesuksesannya suami tarmiyem mengalami kecelakaan saat pulang dari mini market miliknya dan mengalami kelumpuhan. Tarmiyempun hanya bisa pasrah dia menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun lima bulan kemudian tarmiyem mulai merasakan perubahan yang aneh dalam dirinya dia merasakan ada getaran libido, hasrat sexual yang meningkat, terkadang tubuhnya merasa sangat panas, gelisah dan menggeliat-geliat, nafsu sexual itupun menggerogoti iman dan hatinya yang rapuh sampai pada akhirnya dia terjerumus dalam lubang kenistaan. Karena dia tidak dapat menyalurkan hasrat dengan suaminya, dia menyalurkan hasrat sexualnya itu diluar, dia mengatakan bahwa apabila hasratnya sedang memuncak bahkan 3 orang lelakipun belum cukup untuk memuaskannya, biasanya dia bercinta dengan lima orang lelaki sekaligus atau lebih, sekarang dia ibrat sangkar dari berbagai burung dengan bentuk dan ukuran yang bermacam-macam. Saat nafsu setan itu datang dia hanya bisa pasrah terlentang menjadi mangsa beberapa lelaki.

Dia mengatakan apabila hasrat sexualnya tidak tersalurkan tubuhnya terasa sakit semua dan panas seperti terbakar hebat. Sesungguhnya dalam relung hati nuraninya yang terdalam tarmiyem ingin bertobat dan mengakhiri semuanya, dia ingin menjalani hari-harinya seperti dulu bersama suami dan anak yang ia sayangi. Kembali kepangkuan keluarga tercinta, ini adalah kisah nyata, berhati-hatilah saudaraku jadikanlah ini sebagai satu pelajaran yang berharga. Tetapkanlah hati pada sang penciptamu

Hidup di Alam Pesugihan

Melongok alam maya tidak ubahnya melihat bingkai suram yang penuh tanda tanya.
Tidak ubah kisah dialami Sukarman –bukan nama sebenarnya—, seorang petualang ritual asal Jogjakarta. Suatu ketika dia mencari tempat pemujaan pesugihan di salah satu goa yang ada di Jogjakarta. Di tempat itu dia menemui juru kunci yang menjaga tempat keramat. Dia pun mengembara ke alam pemujaan pesugihan yang menyeramkan.
Alam kehidupan maya
yang gemerlap keindahan dan kemegahan membuat tidak sedikit orang yang terlena untuk menikmati. Tanpa meninggalkan dunia nyata sebagai tempat berpijak dan menampakkan keunggulannya, seseorang bisa berbuat apa saja asalkan mau diperbudak iblis. Menghamba setan, jin, dan sebangsanya hanya untuk mendapatkan kemewahan.
Sewaktu hidup di dunia bergelimang harta tidak terasakan kepedihan kelak di alam baka. Ketika ajal menjemput resiko sebagai imbalan yang dia perbuat dapat dirasakan demikian pedih. Seperti kisah misteri yang dialami Sukarman ini sewaktu ‘bertamasya’ ke alam maya, di sana dia kebetulan berkelana di alam pemuja setan sesudah mereka meninggal.
Dia demikian ngeri menyaksikan para pemuda setan seperti pesugihan itu, dianiaya demikian berat. Dipukuli, diinjak-injak, dan dibakar dalam sebuah tungku besar yang panas membara. Tidak sekedar itu, selama berada di alam baka orang-orang berhati tamak tersebut dihinakan di antara makhluk lain yang berada di alam maya.
Mereka tidak ubahnya kedibal-kedibal yang tidak berguna. Misalkan saja dijadikan tumpuan WC, tempat pijakan kaki, atau pilar pagar, yang dibiarkan kehujanan dan kepanasan.
Sukarman yang oleh juru kunci suatu tempat keramat di Parangtritis, telah mengalami berkeliling ke alam jin dan diajak melihat-lihat kehidupan dialam itu. Ternyata jin juga kehidupannya sama seperti manusia. Di sana kehidupannya juga beragam. Ada jin yang kaya raya dan memiliki banyak budak manusia yang keberadaanya sungguh menyedihkan, tapi ada juga jin miskin yang sedikit memiliki budak, bahkan ada yang sama sekali tidak memilikinya.
Manusia budak iblis itu, dari pandangan Sukarman pada umumnya bernasib sebagaimana terjadi awal mula sejarah perbudakan di dunia. Tubuh mereka kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, warna kulit hitam legam, dan apabila dalam suatu pekerjaan mendapat kesalahan tak urung mendapat deraan cambuk dari tuannya sehingga sekujur badannya mengeluarkan darah. Mereka bekerja tak mengenal waktu.
Dalam kisahnya, Sukarman hingga dapat berkelana ke alam maya ini berawal dari keinginannya untuk menjadi orang kaya. Dia sendiri kerjanya hanya kuli serabutan. Padahal, anaknya 3 dan semuanya butuh biaya. Sukarman sudah bulat tekadnya mencari kekayaan dengan jalan ‘nyaji’. Dia pun sudah berjanji segala resiko sudah siap dihadapi. Dengan tekad membatu, dia mendatangi sebuah tempat penyembahan paling terkenal di pulau Jawa tersebut.
Tiba dihadapan juru kunci, Sukarman menceritakan maksudnya, dengan resiko apapun ia sanggup menerima. Sang kuncen hanya tersenyum lalu memberikan wejangan. Pesannya, nanti kalau sudah sampai di tempat pemujaan (tempat untuk mengontak atau berkomunikasi dengan siluman, red) dilarang mengucap kalimat-kalimat Al-Quran. Jangankan mengucap kalimat, ingat kepada Tuhan saja tidak boleh. Ini akan menggagalkan semua maksud.
“Kalau sudah mulai masuk goa siluman, jangan mengenakan busana. Walau selembar benangpun tidak boleh ada yang melekat di tubuh. Anda harus telanjang bulat,” pesan pekuncen tersebut seperti diceritakan Sukarman. Pesan lainnya, selama menelusuri lorong goa yang gelap gulita, Sukarman dilarang tengok kanan kiri. Jalan pun harus menundukkan kepala.
Sungguh ajaib, lorong goa yang semula gelap gulita ternyata berangsur-angsur menjadi terang benderang. Di sekelilingnya terlihat beraneka macam batu pualam. Jalan tanah yang semula diinjak penuh bebatuan, berubah menjadi tumbuhan lumut hijau bak permadani begitu empuk. Makin ke dalam semakin terlihat keajaiban.
Ternyata lorong goa itu hanya merupakan jalan pintu masuk saja. Di dalamnya tampak suatu bangunan istana megah yang penuh dengan ukiran-ukiran candi yang luasnya tak terkirakan. “Inilah yang disebut alam pesugihan,” pekik Sukarman.
Namun, lebih ke dalam lagi Sukarman merasakan hawa yang sangat panas dan merasakan keangkeran tempat asing itu. Dia masih dituntun oleh juru kunci. Kemudian diajak meniti undakan bangunan. Tapi, alangkah terkejutnya, saat menginjakan kakinya, ternyata terasa empuk, begitu dilihat ternyata undakan itu terdiri dari tumpukan tubuh manusia yang mulutnya menyeringai kesakitan. Sukarman merinding. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Selanjutnya, Sukarman dibimbing ke sebuah kolam yang ada jembatan penyeberangan. Tenyata jembatan itupun terdiri dari anyaman tubuh manusia. Mulai pilar hingga tiang-tiangnya semua terdiri dari tubuh manusia yang dipasak oleh bilahan bambu. Dari sekujur tubuh anyaman manusia itu mengucur darah segar yang tiada henti. Mengerikan sekali. Saat berada dalam suasana mencekam itu, tiba-tiba ada suara berat seseorang yang terdengar dari undakan jembatan yang diinjak.
“Hei manusia mengapa kamu datang kemari, maukah kamu kelak tersiksa seperti kami?” kata suara itu, serak. Sukarman makin gentar takut hatinya, merasakan kengerian yang tiada taranya. Sebelum melangkah lebih jauh, tiba-tiba dari arah sebelah kanan terlihat beberapa orang yang dijadikan tumpuan suatu bangunan berupa stupa yang menghiasi kolam.
Kolam itu airnya tidak lazim. Warnanya menyerupai darah dan menyebarkan bau amis. Manusia yang dijadikan tumpuan itu terlihat sedang menahan beban dan menahan sakit yang berkepanjangan.
Mereka menyeringai sedang sekujur tubuhnya mengeluarkan darah melalui pori-pori kulitnya. “Wahai anak muda mengapa kamu kemari, pulanglah kembali ketempatmu sebelum terlambat, jangan mengikuti jejak kami yang tersesat. Kami saat ini merasakan penyesalan, maka anak muda biarkanlah cuma kami yang menjadi korban,” ucap sosok manusia tersiksa itu.
Sukarman bergidik. Dia sadar alam yang dimasuki itu. Maka, sebelumnya oleh juru kunci memandikannya dengan kembang agar hatinya mantap, secepat itu hatinya meronta dan mengundurkan maksudnya dalam posisi 180 derajat. “Allahhu…akbar !,” pekiknya.
Begitu membalikkan badannya, ternyata semua yang terlihat secara ajaib hilang semua, yang ada hanya mulut goa yang berbatu-batu. Sukarman terus berlari keluar tak menghiraukan juru kunci yang mengantarnya. Begitu sampai di luar goa segera dia bersujud ke tanah menghadap kearah kiblat mengucap istigfar berulang-ulang dengan deraian air mata .”Ya Allah, ya Tuhanku. Ampunilah hambaMu ini, yang hampir saja tergiur bujukan iblis,” rintihnya dalam tangis. (cerita kiriman Hendry,  semarang)

RAHASIA PESUGIHAN POHON DEWANDARU

Gunung Kawi Jawa Timur selalu dimitoskan sebagai sarana pesugihan. Padahal sebenarnya tempat ini adalah punden Eyang Jogo. Namun karena pandangan miring itu sudah melekat dalam masyarakat, maka gunung Kawi tersebut dianggap mempunyai kekeramatan dalam hal perburuan harta kekayaan gaib lewat ritual pesugihan. BERBURU pesugihan memang tak boleh gegabah dan harus berpasrah diri. Dalam do’a pun, juga demikian. Permintaan yang dimohonkan, tidak secara otomatis terkabul kendati uborampe sudah diongkepi. 

Keinginan supaya bisa menjadi kaya, bisa datang lebih cepat dari harapan, tetapi dapat juga malah sebaliknya. Pada ranah pesugihan, dikenal pesugihan Pohon Dewadaru. Benarkah daun pohon tersebut merupakan lantaran manusia untuk menjadi kaya?

Warga masyarakat Jawa mengenal satu tradisi yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun umurnya. Yakni, tradisi berburu kekayaan lazimnya disebut pesugihan. Untuk menggapainya ilmu tersebut (pesugihan) bukan perkara mudah. Karena dipercaya pelaku (orang bersangkutan) wajib menumbalkan nyawa, dari salah seorang anggota keluarganya, bisa istri, anak, menantu atau yang lainnya. 

Kendati besar tebusan sekaligus resiko yang wajib dibayar, akan tetapi anehnya jumlah orang yang memburunya berkecenderungan terus bertambah pada setiap tahunnya. Hal itu berarti banyak orang yang ingin kaya raya dengan cara melakukan ritual pesugihan.

Media permohonan pesugihan, bermacam-macam. Bisa melalui punden, makam, sendang, pohon, dan bentuk tempat keramat lain. Guna terkabulnya niatan itu, pelaku wajib atur sesaji pada penunggu gaib tempat tersebut. Sesaji ini, erat kaitannya dengan uborampe.

Fungsinya, yaitu untuk memanggil supaya penunggu gaib berkenan muncul sekaligus mendengar permintaan si pelaku. Dipercaya bahkan diyakini oleh sebagian orang terutama para pemburu kekayaan, saat melakukan doa, siapapun orangnya tidak boleh sembarangan.

Etika yang harus diikuti, antara lain harus santun, sabar dan fokus dengan apa yang diminta.  Semua hidupnya, digambarkan harus diserahkan terhadapnya, si penunggu gaib tempat keramat tersebut.

Berperilaku seperti itu, memang tidak gampang, namun demi satu tujuan yang sudah diperhitungkan untung dan ruginya, pelaku mau tidak mau harus mengerjakannya dengan sepenuh hati. Agar penunggu gaib tempat keramat tersebut, bersedia menerima doanya.

Pohon Dewa 
Pohon dewa merupakan pohon tua dan dikeramatkan sekaligus dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan atau pesugihan. Pohon itu terdapat di area pesarean Gunung Kawi, masuk wilayah Kabupaten Malang, Jatim. Masyarakat menamai pohon Dewadaru tersebut sebagai pohon pesugihan. 

Bahkan ada juga yang menamainya sebagai pohon kesabaran. Dalam keyakinan masyarakat Tiong Hoa, Dewadaru, jenisnya termasuk jenis Pohon Shianto atau pohon Dewa. Siapapun yang kejatuhan pohon ini, dipercaya bisa menjadi kaya raya. Hanya saja, untuk mendapatkan daunnya, tidak boleh dipetik atau dipanjat pohonnya dan juga tidak boleh diambil dengan galah.

Akan tetapi, yang bersangkutan harus duduk bersila, sambil terus memanjatkan doa tanpa putus sembari menunggu jatuhnya helai demi helai daun pohon keramat tersebut.  Ketika jatuh, puluhan orang yang ada di bawah, langsung berebut untuk mengambilnya.

Selanjutnya daun dibungkus dengan selembar uang, kemudian disimpan di dalam dompet. Seperti itulah satu mitos soal pohon Dewadaru, yang dipercaya daunnya bisa membuat manusia menjadi kaya raya. 

Dalam sejarahnya, pohon yang mirip pohon crème ini, ditanam oleh Eyang Jugo dan Eyang Sujo, sebagai perlambang daerah gunung Kawi dan sekitarnya aman sejahtera. Eyang Jugo dan Eyang Sujo, dimakamkan di satu liang lahat. Lokasinya, tak jauh dari tumbuhnya pohon tersedut.

Keduanya dulunya merupakan pejuang, bala tentara Pangeran Diponegoro. Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo Atau Raden Mas Iman Sudjono adalah Bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat adu domba kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar. Sedangkan Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah gunung Kawi itu

DiBALIK KEGAGALAN PASTI ADA HIKMAHNYA

Budaya di negeri ini akrab dengan istilah pesugihan atau ilmu mendapatkan harta kekayaan secara cepat tanpa perlu kerja keras. Pesugihan memiliki banyak keragaman, seperti, pesugihan rantai babi, tuyul, babi ngepet, kandang bubrah,  butho ijo, batara karang, Gunung Kemukus (ritual seks pesugihan)dan lain-lain.Semua pesugihan tersebut berkaitan dengan sosok jin yang dimintai bantuan untuk mengabulkan hajat menjadi kaya.
Pesugihan tidak mudah dikerjakan. Meskipun segala persyaratan telah dipenuhi, kenyataannya tetap gagal menjadi kaya.Uniknya, masyarakat di negeri ini terlanjur akrab dengan pesugihan. Sehingga apabila mengalamiu kegagalan akan berupaya terus memburu pesugihan di tempat lain.

Apa sebenarnya yang menyebabkan ritual pesugihan gagal? Berikut petikan bincang-bincang saya dengan Teguh Setya Budi, pria berjanggut putih yang menetap di Kranggan Bekasi.
Analisis

“Saya pernah menganalisa kegagalan ritual pesugihan,” Katanya.

“Sebenarnya tidak semua orang yang menjalani pesugihan mengalami kegagalan. Ada diantaranya yang berhasil. Tingkat keberhasilannya pun berbeda-beda. Ada yang berhasil 30 persen hingga 90 persen. Ada juga yang gagal total alias rugi modal,” kata Teguh memulai pembicaraan.

“Tetapi harus pula diketahui, mereka yang berhasil pun berpeluang mengalami kehancuran di kemudian hari jika syarat yang sudah ditetapkan tidak dipenuhi,” lanjutnya.

Menurutnya, pesugihan itu kontrak seumur hidup. Biasanya ada syarat-syarat yang ditetapkan jika berhasil. Misalnya, tumbal dan sesajen tertentu. Apabila berhasil, syarat tersebut harus dipenuhi seumur hidup. Jika ditinggalkan atau terlupa dapat terkena akibatnya yang berujung kematian dan kekayaannya ludes seketika. Perbincangan seputar ritual pesugihan yang gagal tergolong unik.

Tempat pesugihan cukup banyak di negeri ini. Misalnya di Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, Sadang (Cikampek), Cirebon, Cilacap, Ambarawa, Wonosobo, Grabagan, Parakan, Batang, Karanganyar (Solo), Lasem, Banyuwangi, Trenggalek, Jombang, Palembang, Jambi dan di Pulau Kalong (NTT).
Faktor Kegagalan

Teguh mengungkapkan, terdapat 2 syarat yang berkaitan dengan ritual pesugihan, yaitu: syarat yang harus dipenuhi sebelum ritual (berkaitan dengan sesajen dan jenis minyak tertentu) dan syarat yang harus dipenuhi pada saat ritual (berkaitan dengan mantera dan teknik ritual). Apabila syarat pertama dan kedua gagal dipenuhi, maka dapat dipastikan ritual akan gagal.

Adapun penyebab kegagalan menjalani ritual pesugihan cukup banyak. Namun, secara garis besar ada 5 faktor, yaitu: salah waktu, salah sesajen, salah bahasa, salah teknik, dan salah tempat.

“Sepintas memang tampak sederhana faktor kesalahan tersebut. Kenyataannya sangat sulit,” Kilahnya sambil tertawa. Menurutnya, sebuah tempat pesugihan memiliki aturan-aturan baku (patrap, bhs.Jawa) yang sudah turun temurun. Jika dilanggar sedikit saja, dapat dipastikan ritual gagal total.

Dia memberi contoh seputar faktor salah waktu. Dalam tradisi ritual pesugihan, waktu memegang peranan penting. Istilah waktu ini berkaitan dengan hari, weton dan jam ritual. Misalkan, hari Selasa-Kliwon, Sabtu-Pahing atau Jumat-Pon. Ada keterikatan kuat antara hari dalam penanggalan Nasional dengan hari dalam penanggalan Jawa.

Begitupula dalam hal jam. Ritual pada Selasa-Kliwon menandakan ritual tersebut dilaksanakan pada hari Senin sore dan bukan pada hari Selasa sore. Lima faktor kesalahan tersebut jika dijabarkan sangat luas. Misalkan, salah sesajen berkaitan dengan sesajen (ubo rampe) yang biasa dilakukan di tempat pesugihan tersebut.

Salah bahasa berkaitan dengan mantera-mantera yang dibaca, nama jin yang dipanggil dan permintaan dari orang yang menjalani ritual. Salah teknik berkaitan dengan salah duduk dan salah arah.

Salah tempat berkaitan dengan kesalahan menentukan lokasi yang tepat.
Resiko

Teguh mengatakan bahwa mencari kekayaan melalui pesugihan memiliki resiko tinggi. Terutama jika dalam proses ritual terjadi kontak dengan sosok gaib yang dituju. Pelaku ritual bisa sakit atau mengalami peristiwa yang dapat merenggut nyawanya. Misalnya,  dia pernah mendengar cerita orang yang usai menjalani ritual pesugihan, dalam perjalanan pulang, kendaraan yang ditumpangi nyaris tabrakan. Kejadian itu selalu terulang setiap kali selesai menjalani ritual pesugihan.

Bahkan pernah dalam suatu peristiwa, makhluk gaib yang dipanggil tidak sesuai dengan yang diinginkan dan yang datang makhluk gaib lain yang malah menyerang acara prosesi ritual hingga yang hadir lari tunggang langgang.

“Saya menyarankan untuk tidak coba-coba mengikuti ritual pesugihan. Keuntungannya hanya sesaat. dan, bukan keuntungan yang di dapatkan, melainkan bencana seumur hidup,” katanya.

Demi Uang Milyaran Aku Rela Kawin dengan Genderowo.

Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan  kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.


Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!

Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.

Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,  ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan itu berawal.

Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua, terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak yang akan memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.

Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.

Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit Bambang.

Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.

Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.

Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini memilih pindah sekolah.

Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.

Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.

Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan?

Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.

Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.

Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama  untuk pendidikannya.

Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak cantik sekali dengan balutan busana muslimah.

Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin sering kali aku yang mentraktirnya.

Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke rumahnya.

Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah menurut ukuranku.

“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.

Yuliana tersenyum  sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.

Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera menyambung penjelasannya.

“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”

Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.

Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu, Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?”

“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.

“Kau harus kawin dengan genderuwo!”

Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?

Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa menjalankan ibadah.”

Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja\ karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.

Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu ritual kawin dengan genderuwo itu.

Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.

Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.

Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.

Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung mendapatkannya!”

Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?

Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang lebih dari mencukupi.

Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.

Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.

Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.

Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku, antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam kamarku.

Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.

Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah membohongiku?

Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh suatu kekuatan gaib.

Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, bibir dan daguku.

Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.

“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.

Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja hilang kesadaran.

Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”

Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.

Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.

“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”

Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.

Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.

“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.

Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan menanggung kesusahan hidup….

Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.

“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar penjelasan Yulianah.

Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi terhadap diriku.

Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku dan menagih malam pertamanya padaku.

Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat memberikan solusi yang terbaik bagiku….

Sate Gagak Bisa Jadi Duit Milyaran

Mendapatkan uang gaib melalui media sate gagak merupakan ciri khas ilmu pesugihan Dewi Lanjar. Dikisahkan, sosok gaib Dewi Lanjar memiliki kekayaan melimpah, berupa harta emas lantakan dan tumpukan uang yang tak terhitung nilainya. Uniknya, mata uang yang dimiliki Dewi Lanjar ini mengikuti mata uang yang berlaku di alam manusia. Konon, mata uang rupiah, dollar Amerika, dollar Singapura, Ringgit Malaysia, dll, terdapat dalam tumpukan uang yang dimiliki Dewi Lanjar.


Itulah sebabnya banyak orang yang berupaya mendapatkan uang gaib tersebut. Mata uang yang diinginkan tergantung peminatnya, asalkan syarat yang diminta Dewi Lanjar dapat dipenuhi, yaitu sate gagak.

Sepintas mudah saja menyediakan sate gagak. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Itulah yang dialami Amin (48 tahun).

“Pengalaman yang saya alami sangat menakutkan. Bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa. Sebaiknya jangan coba-coba mengikutinya,” kenang Amin yang menetap di Kampung Pekalipan, Cirebon.

“Bagaimana kisah itu terjadi?” Tanya Misteri.

“Awalnya kami ingin membuktikan uang gaib. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya. Tetapi teman saya mengatakan ada seorang kyai di Banyumas, Jawa Tengah, yang memiliki kemampuan mendatangkan uang gaib,” kata Amin.

Selanjutnya dikisahkan, Amin bersama delapan orang temannya menemui Kyai Rozykin di Banyumas. Mereka mengutarakan niatnya mendapatkan uang gaib.

Ketika itu Kyai Rozykin hanya tersenyum mendengarnya.

“Apa kalian sudah mantap dengan niat itu? Apa tidak takut dengan resiko yang dihadapi?” Tanya Kyai Rozykin.

Tentu saja semuanya menjawab mantap dan siap dengan resikonya.  Niat itu sudah bulat dan tidak mungkin diubah lagi.

“Baiklah. Siapkan seekor burung gagak. Nanti kita lihat apa yang terjadi,” ujar Kyai Rozykin.

Beberapa hari kemudian, Kyai Rozykin bersama sembilan orang itu berangkat menuju pasar burung di Plered, Cirebon.

Nasib mereka mujur. Burung gagak berwarna hitam kelam berhasil diperoleh dengan harga 250.000 rupiah seekor.

Bahas Rencana

Pada hari yang telah ditentukan, mereka berkumpul di rumah rekan Amin membahas rencana semula.

“Berapa uang yang kalian inginkan?” Tanya Kyai Rozykin yang memimpin acara itu.

Amin dan teman-temannya bingung mendengar pertanyaan yang mengejutkan itu.

“Lho! Kalian bagaimana? Ingin mendapatkan uang gaib tapi tidak tahu jumlahnya,” kata Kyai Rozykin kesal.

“Lima belas milyar,” ujar rekan Amin memecah keheningan.

“Rupiah, dollar, ringgit…” Kyai Rozykin menyambung cepat.

“Rupiah,” serentak jawaban keluar dari sembilan orang yang sedang bermimpi menjadi kaya tanpa susah payah.

“Baiklah. Burung gagak itu kalian potong dan siapkan 15 tusuk sate. Lalu siapa yang akan berjualan sate gagaknya?” Tanya Kyai Rozykin.

Amin dan temannya hanya terbengong mendengar pertanyaan itu.

“Apa maksud Kyai?”

“Salah seorang diantara kalian bertugas menjual 15 tusuk sate gagak. Apabila ada yang datang membeli, jangan berikan sate itu sebelum sang pembeli membayar 1 milyar untuk satu tusuk sate,” Kyai Rozykin menjelaskan.

“Siapapun yang berjualan harus memastikan pembeli menyediakan uang sebanyak yang kalian inginkan. Kalian juga harus membawa selembar uang seratus ribu sebagai contoh. Katakan pada pembeli agar menyediakan uang seperti uang yang kalian bawa itu,” lanjut Kyai Rozykin.

Kesembilan orang itu tersenyum mendengar penuturan Kyai Rozykin. Tampaknya tidak terlalu sulit mendapatkan uang bermilyar-milyar rupiah. Tetapi mereka serentak diam, ketika Kyai Rozykin bertanya siapa yang akan bertugas menjadi penjual sate gagak.

Terjadilah perdebatan. Mereka saling tunjuk siapa yang akan menjadi penjual. Setelah disepakati, Amin dipilih mengambil tugas itu.

Kyai Rozykin lalu memanggil Amin untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan saat berjualan.

“Kamu harus berani dan jangan gentar. Ingat, dalam dunia gaib, justru penjual yang menjadi raja dan bukan pembeli,” nasihat Kyai Rozykin.

Memang terdengar aneh. Bisnis manusia jelas mengatakan pembeli adalah raja. Sementara di alam gaib sebaliknya, penjual adalah raja.

Jualan Sate Gagak

Pada malam Jumat, sekitar pukul 21.00 malam, menggunakan mobil mereka menuju tempat yang dipilih berjualan sate. Lokasinya di muara sungai Kalijaga, persis di tepi laut.

Seorang diri Amin berjalan ke arah lokasi tersebut sambil membawa 15 tusuk sate gagak dan peralatan untuk membakar sate. Lokasi tersebut dipenuhi pepohonan lebat dan alang-alang. Sambil berjalan, Amin harus membabat alang-alang dengan sebilah parang. Sekitar 1 meter dari tepi laut, Amin membersihkan tempat yang akan digunakan berjualan. Setelah itu dia mulai membakar satu persatu sate yang dipersiapkan.

Sementara itu, posisi Kyai Rozykin dan teman-temannya berada  di dekat mobil yang berjarak sekitar 500 meter dari Amin. Kyai Rozykin melakukan ritual dekat mobil tersebut.

Tepat jam 22.00 malam, 15 tusuk sate yang dibakar sudah matang dan siap dijual. Aroma daging terbakar menyeruak ke segala arah.

Sebagaimana petunjuk Kyai Rozykin, Amin berteriak-teriak seolah memanggil pembeli.

“Sate gagak….sate gagak. Siapa mau beli,” teriak Amin sambil mengacung-acungkan satenya.

Tampaknya belum ada yang datang membeli. Amin mulai didera rasa takut. Suasana malam terasa mencekam. Debur ombak dan desiran angin mendirikan bulu roma. Pada saat itu, Amin membaca doa-doa dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Amin tersentak kaget mendengar suara petir yang keras. Kilatan petir bahkan berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk.

“Astaghfirullah,” teriak Amin dalam batin. Kilatan petir terasa menyambar kepala, hingga secara refleks menunduk menghindarinya.

Belum hilang rasa kaget mendengar petir, tiba-tiba seekor burung hantu terbang berputar-putar. Amin yang tangan kanannya masih memegang sate gagak langsung saja mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak. Sementara tangan kirinya memegang selembar uang seratus ribu rupiah.

“Sate gagak… sate gagak…siapa mau beli,” teriak Amin dengan suara parau.

Burung hantu itu hinggap pada sebatang pohon sekitar 10 meter darinya. Matanya menatap tajam. Amin balas menatapnya sambil terus berteriak-teriak menawarkan sate gagak.

Burung hantu itu lalu turun di tanah dan mulai berjalan mendekat. Tetapi tiba-tiba saja burung itu terlempar menjauh sambil mengeluarkan suara keras.

Amin terkejut melihat kejadian itu. Tapi dia tidak mengerti apa yang terjadi.

Sambil membakar sate gagak agar aroma daging tetap menyebar, Amin terus berteriak-teriak memanggil pembeli.

“Sate gagak….sate gagak…sate gagak. Siapa mau beli,” teriak Amin.

Entah darimana datangnya, Amin tersentak melihat sosok gaib berujud manusia setengah badan muncul dari semak-semak belukar.

Sosok gaib itu hanya terlihat dari dada ke atas. Bagian perut dan kakinya tidak ada. Sosok gaib itu berambut gondrong, berwajah seram dan mata merah menyala. Seperti melayang, sosok itu mendekati Amin.

Anehnya, sosok itu berhenti 10 meter di depan Amin. Makhluk dari bangsa jin itu menatap tajam dengan mulut seolah sedang berbicara.

“Sate gagak…sate gagak….sate gagak. Ayo beli sate gagak. Murah…satu milyar untuk satu tusuk sate gagak,” kata Amin berteriak sambil mengacungkan sate gagak di tangan kanan dan uang seratus ribu di tangan kiri. Amin berharap makhluk gaib itu datang mendekatinya dan membeli sate gagak.

Sebagaimana petunjuk Kyai Rozykin, Amin harus menunjukkan sate gagak itu kepada pembeli. Apabila sang pembeli berminat, maka Amin harus pula menyodorkan uang seratus ribu rupiah untuk pembayarannya.

Tetapi Amin heran melihat sosok setengah badan itu tidak juga mendekat. Padahal ekspresi wajah gaib itu terlihat berminat membeli sate.

Amin tidak menyerah. Dia terus berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Agaknya pancingan ini berhasil, sosok gaib itu bergerak mendekatinya.

Tiba-tiba sosok gaib itu mengeluarkan suara lengkingan keras disertai kobaran api. Sosok gaib itu terbakar dan kemudian lenyap.

“Astaghfirullah,” teriak Amin dalam batin.  Dia heran mengapa makhluk itu terbakar.

Buaya Putih

Tetapi Amin tetap bertahan. Keinginannya mendapatkan uang gaib sudah bulat. Apapun yang terjadi. Amin memang kesal dengan teman-temannya yang memilihnya berjualan sate. Sementara mereka asyik duduk di mobil menunggu perkembangan. Pada saat itu Amin tidak menyadari rekan-rekannya di dalam mobil lari kocar-kacir akibat mobil tersebut diguncang-guncang keras sejumlah sosok gaib hingga terperosok ke dalam parit. Bahkan Kyai Rozykin pun lari ketakutan.

Sekitar pukul 02.00 pagi, Amin melihat pemandangan aneh. Dua buah perahu melaju pelan dari arah muara sungai Kalijaga. Semakin lama perahu itu mendekati posisi duduknya yang hanya berjarak 1 meter dari tepi laut.

Amin mengamati kedua perahu itu. Aneh, tidak ada seorang pun di dalam perahu. Tetapi Amin dengan sangat jelas melihat beberapa tumpukan karung di dalam perahu.

“Apa isi karung-karung itu? Pikir Amin. Setelah Amin menghitung, ternyata jumlah karung itu ada 15.

“Apakah karung-karung itu berisi uang 15 milyar? Tetapi mengapa perahu itu terus berjalan dan tidak berhenti?” Tanya Amin dalam hati.

Kedua perahu itu berjalan di muara sungai dan menuju laut lepas. Deburan ombak seketika melenyapkan perahu itu.

Amin mulai pesimis sate gagak yang dijualnya akan laku. Tetapi dia belum mau beranjak pulang sebelum kedatangan sosok gaib Dewi Lanjar. Dia masih menunggu putri dari bangsa jin yang sangat kaya itu.

Menjelang pukul 03.00 pagi, Amin dikejutkan kedatangan seekor buaya putih berukuran raksasa. Lebar badan buaya itu sekitar 2 meter, dengan panjang hampir 15 meter.

Buaya berbadan besar itu muncul dari dalam sungai dan berjalan terseok-seok mendekatinya.

“Sate gagak…sate gagak. Ayo beli sate gagak,” teriak Amin sambil menatap ke arah buaya yang berjarak sekitar 10 meter. Kali ini, tubuh Amin gemetar. Dia khawatir buaya itu akan memangsa dirinya dan bukan sate gagak yang dipegangnya.

Lagi-lagi kejadian yang sama terulang. Buaya yang mendekatinya itu terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya melayang dan terhempas di permukaan sungai. Suaranya keras menggelegar.

“Astaghfirullah,”teriak Amin.

Beberapa saat kemudian, muncul lagi buaya besar dan berjalan mendekatinya. Tetapi buaya itu kembali terhempas di permukaan sungai.

Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang dialami hingga fajar menyingsing.

Amin berkemas meninggalkan lokasi berjualan dan berjalan menuju temannya menunggu di mobil.

Dia heran melihat teman-temannya sibuk mendorong mobil yang terperosok di parit.

“Apa yang terjadi?” Tanya Amin.

Seorang temannya mengatakan, mobil itu diguncang-guncang sosok tak kasat mata hingga terperosok di parit. Beruntung tidak terlalu membahayakan. Mobil pun dikeluarkan dari parit hingga mereka dapat pulang.

Dalam perjalanan pulang, Kyai Rozykin bertanya kepada Amin seputar pengalaman yang dialami.

Setelah mendengar cerita Amin, Kyai Rozykin tersenyum.

“Tentu saja sate gagak itu tidak laku. Sepanjang berjualan kamu terus melantunkan zikir di dalam hati. Dewi Lanjar takut dan tidak berani mendekat,” kata Kyai Rozykin yang mengaku baru pertama kali ini gagal mendatangkan uang gaib.

Menutup kisahnya kepada Misteri, Amin berkata,

“Ini pelajaran buat saya bahwa mendatangkan uang gaib itu perbuatan batil. Buktinya makhluk gaib itu takut dengan bacaan zikrullah.”
KONSULTASI Email ke : putusamodro@gmail.com
google_ad_client = "pub-6102853269265692"; google_ad_host = "pub-1556223355139109"; /* 300x250, created 3/3/11 */ google_ad_slot = "8655118434"; google_ad_width = 300; google_ad_height = 250; google_language = "en" //-->